====================
==========================
Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.”
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani (1150 H/1737 M) adalah imam besaar yang diyakini sebagai seorang wali quthb. Sejak usia tujuh tahun Syaikh At-Tijani telah hafal Al-Qur’an. Kemudian pada usia dua puluh tahun ia telah mendalami berbagai cabang ilmu; baik ilmu ushul, ilmu furu’, maupun ilmu adab. Menginjak usia tiga puluh satu tahun, Syaikh At-Tijani mendalami ilmu tasawuf dan terjun dalam dunia sufi sampai memasuki usia empat puluh enam tahun. Ia membersihkan jiwa, tenggelam dalam mengamalkan amalan thariqah dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah, seperti Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Fez (Maroko), dan Abu Samghun. Kunjungan kepada wali-wali besar itu dalam upaya silaturahim dan menapaki hikmah-hikmah kewalian secara lebih luas.
Pada saat itu para wali besar telah melihat dan mengakui bahwa Syaikh At-Tijani adalah wali besar, bahkan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ungkapan kesaksian demikian karena di dunia sufi diakui bahwa derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang hakikatnya berasal dari Allah SWT. Derajat wali, semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah.
Proses panjang Syaikh At-Tijani menapaki hikmah-hikmah kewalian melalui perjalanan panjang mengunjungi para awliya’ besar, berakhir di sebuah padang sahara bernama Abu Samghun di wilayah Aljazair. Syaikh At-Tijani mengunjungi daerah Abu Samghun pada tahun 1196 H/1782 M. Di tempat inilah ia mencapai anugerah al-fath al-akbar (pembukaan besar) dari Allah.
Pada saat al-fath al-akbar ini Syaikh At-Tijani mengaku berjumpa dengan Rasulullah SAW secara yaqzhah, sadar lahir dan bathin. Pada saat itu ia mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah SAW berupa istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian, pada tahun 1200 H/1786 M, wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah SAW dengan bacaan dzikir Hailalah (La ilaha illallah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW melalui perjumpaan secara yaqzhah inilah yang menjadi awal mula berdirinya Thariqah At-Tijaniyah.
Penggalan kisah perjalanan ruhani Syaikh At-Tijani di atas hingga bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan sadar lahir bathin adalah anugerah Ilahiyah hasil dari perjalanan panjang yang tidak setiap orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang terpilih sebagai kekasih-kekasih Allah.
Bertemu dengan Rasulullah SAW seperti yang dialami oleh Syaikh At-Tijani hanyalah satu dari berjuta lembaran riwayat yang mencatatkan perjumpaan terindah antara sang kekasih dengan tumpuan hatinya, antara perindu dengan kekasih tercintanya, dan antara umat yang teramat sayang dan rindu kepada nabinya, insan termulia, manusia pilihan, kekasih Tuhan semesta alam, habibuna Muhammad Rasulullah SAW.
Diriwayatkan, seorang waliyullah diberikan kecintaan lebih kepada Allah. Wali itu bernama Syaikh Balwas. Dinamakan “Syaikh Balwas” karena kelebihan cintanya itu kepada Allah. Ia melakukan hijrah ke sebuah gua, yang akhirnya ia dicerca dan dibenci oleh keluarganya, saudaranya, lingkungannya. Mirip yang dialami oleh Nabi Ayub AS.
Rindunya kepada Rasulullah SAW berapi-api hingga suatu ketika Allah mengilhamkan bacaan shalawat kepadanya, yang ternyata kelebihannya luar biasa bagi yang mengamalkannya. Syaikh Balwas merenungkan ayat Allah tentang kejadian manusia yang diumpamakan seekor burung kepada Nabi Ibrahim AS. Burung tersebut dipotong menjadi beberapa bagian, kemudian dihidupkan kembali.
“Ya Allah, semua orang adalah faqir (tidak punya). Nabi Khidhir juga faqir. Hanya Engkaulah Yang Mahakaya. Maka aku ingin bertemu dengan Rasulullah SAW secara yaqzhah,” ujar Syaikh Balwas suatu ketika.
Maka seluruh apa yang dimilikinya diberikan kepada orang lain. Termasuk istrinya, diserahkan kepada pihak kesultanan.
“Dan aku ini budak siapa pun,” kata Syaikh Balwas. Maka setiap ada yang meminta bantuannya karena Allah, ia menyerahkan dirinya untuk membantunya. Perilaku ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS.
Kemudian, datanglah Rasulullah SAW menjumpai Syaikh Balwas dalam keadaan sadar. Beliau memberikan bacaan shalawat kepadanya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Balwas untuk membacanya sebanyak 20.000 kali.
Berkata Syaikh Balwas, “Aku mengerjakannya dalam sehari semalam.” Lalu datanglah seseorang membawakan uang 20.000 dinar kepadanya.
Syaikh Balwas hidup pada masa Syaikh Samman Al-Madani. Ia adalah orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali Allah. Kisah ini termasyhur di kalangan pengikut Thariqah Idrisiyah.
Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, dalam kitabnya Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, menukil riwayat dari Syaikh Ahmad Al-Mubarak dalam kitab Al-Ibriz, meriwayatkan ihwal gurunya, Syaikh Al-Ghawts Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang menceritakan bahwa Nabi Khidhir AS memberinya satu wiridan, pada masa awal perjalanan kewaliannya, untuk diamalkan setiap hari dengan membacanya sebanyak 7000 kali. Wiridan itu berupa doa yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, dengan kedudukan penghulu kami, Nabi Muhammad bin Abdullah, kumpulkanlah aku bersama Nabi Muhammad di dunia sebelum di akhirat.”
Syaikh Abdul Aziz kemudian mendawamkan wirid ini sebagaimana dianjurkan oleh Nabi Khidhir AS hingga ia bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dalam pertemuan itu, Syaikh Abdul Aziz menanyakan kepada Nabi SAW berbagai permasalahan. Kemudian Nabi pun menjawab berbagai permasalahan yang diajukan tersebut dengan jawaban yang tidak satu pun bertentangan dengan penjelasan yang disebutkan oleh para imam, padahal Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang ummi, tidak dapat membaca ataupun menulis.
Selain itu, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengisahkan juga perjumpaannya dengan Syaikh Mahmud Al-Kurdi di makam Nabi SAW. Syaikh Kurdi menyatakan, dirinya selalu berjumpa dengan Nabi SAW dan berdialog dengan beliau. Pernah juga Syaikh Kurdi datang ke makam Nabi SAW dan dikatakan kepadanya bahwa beliau SAW sedang berkunjung kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib. Syaikh Kurdi juga menceritakan berbagai hal yang dialaminya bersama Rasulullah SAW selama itu. “Dan aku meyakini hal itu dan membenarkan apa yang diceritakannya itu, karena beliau termasuk salah satu ulama shadiqin,” kata Syaikh Yusuf menegaskan.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Yusuf juga menukilkan riwayat dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami, menghikayatkan dari Syaikh Ibnu Abi Jumrah, Syaikh Al-Bazi, Syaikh Al-Yafi, dan yang lainnya dari kalangan tabi‘in dan juga generasi sesudah mereka, bahwa mereka telah bertemu Nabi SAW dalam mimpi dan kemudian bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang perkara-perkara yang ghaib dan beliau pun menjawabnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah seperti apa yang dikhabarkan oleh Nabi SAW.
Syaikh Ibnu Abi Jumrah mengatakan, “Hal tersebut adalah bagian dari karamah awliya’, sehingga orang-orang yang mengingkarinya mestilah terjatuh ke dalam jurang pengingkaran terhadap karamah para awliya.”
Mungkinkah Bertemu Nabi?
Dapatkan seseorang bertemu, berbincang, bahkan berdialog dengan Nabi SAW, yang sudah wafat berabad-abad yang lalu, dalam keadaan sadar? Masalah ini memang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Karena ada banyak aspek yang jawabnya pun akan beragam pula berdasarkan aspek yang dimaksudkan dan ditanyakan.
Apakah pertanyaan itu menyangkut aspek syari’at dan tetapnya kemungkinan melihat Nabi SAW dengan dalil-dalil syari’at? Apakah pertanyaan itu berkaitan dengan makna melihat dan kapan terjadinya? Dan siapakah yang layak melihat Nabi SAW jika hal itu termasuk mungkin menurut syari’at?
Sesungguhnya permasalahan tentang melihat Nabi SAW secara nyata dan sadar telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.”
Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bary menukilkan bahwa hadits ini diriwayatkan dengan tiga lafazh yang berbeda, yakni: pertama dengan lafazh “niscaya akan melihatku dalam keadaan sadar”, kedua dengan lafazh “maka seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan sadar”, dan ketiga dengan lafazh “maka sungguh ia telah melihatku”.
Berkenaan dengan hadits ini, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan lafazh yang paling kuat di antara ketiga riwayat tersebut, meskipun mereka tidak berbeda pendapat dalam keshahihannya. Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menentukan makna dari ketiganya, terutama pada riwayat yang menyatakan, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar.”
Untuk mengetahui apakah mungkin bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar, menurut pandangan syari’at tidaklah dapat disimpulkan berdasarkan hadits ini. Melainkan berdasarkan hadits-hadits lain yang kedudukannya mendekati mutawatir (derajat tertinggi keshahihan hadits). Yakni, antara lain, hadits-hadits yang menjelaskan mungkinnya melihat arwah yang tidak lagi berada pada jasad duniawinya. Hal itu telah dialami oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam riwayat yang menjelaskan ihwal peristiwa Isra dan Mi‘raj.
Nabi SAW dipertemukan oleh Allah dengan arwah para nabi sebelumnya, yang menyerupai bentuk jasad mereka semasa di dunia, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih.
Dari riwayat tentang peristiwa Isra dan Mi‘raj yang dialami oleh Rasulullah SAW, dapat dipahami adanya kemungkinan melihat arwah menurut syari’at yang menjadi pembahasan kita kali ini, dengan tidak memandang kepada siapa yang mengalami peristiwa tersebut, yakni Rasulullah SAW. Hal itu tidak lain adalah mukjizat Nabi SAW.
Kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masalah karamah awliya’ berpandangan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususannya bagi Nabi SAW.
Pandangan ini telah dijelaskan oleh para imam, di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarh Muslim. Demikian itu karena karamah dan mukjizat, keduanya adalah sama-sama perkara yang di luar adat kebiasaan manusia yang datang dari Allah SWT. Perbedaan keduanya tidak terletak pada kemungkinan terjadinya, melainkan pada kedudukan mukjizat sebagai bukti nyata yang tidak dapat diingkari kebenarannya dan sebagai bukti kebenaran kenabian. Adapun karamah tidaklah demikian, melainkan sebagai karunia dan kemuliaan yang Allah berikan bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya dari para kekasih Allah.
Karamah-karamah tersebut banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, dengan tidak adanya batasan tertentu, selain bahwa hal itu mungkin terjadinya dengan kudrat Allah SWT dengan bentuk yang berbeda-beda berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami oleh masing-masing pelakunya. Seperti pertemuan dan dialog antara Maryam dan Jibril AS, pemindahan istana Bilqis dalam sekejap mata oleh salah seorang pengikut Nabi Sulaiman AS yang dikaruniai ilmu dari Al-Kitab, dan sebagainya.
Berdasarkan riwayat yang menetapkan bertemunya Nabi SAW dengan arwah para nabi dalam peristiwa Isra dan Mi‘raj, sebagai mukjizat bagi beliau, dapat dikatakan, sah pula bahwa arwah dapat dilihat oleh wali siapa pun dengan jalan di luar adat kebiasaan manusia, sebagai penghormatan dan kemuliaan dari Allah SWT. Karena bertemu dan melihat arwah tidaklah termasuk khushushiyah (sesuatu yang dikhususkan) bagi Nabi SAW semata, sehingga hal itu berlaku dalam konteks umum.
Pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, ini bersandarkan pada dasar-dasar yang kuat. Yakni bahwa pembahasan dalam masalah terjadinya perkara apa pun membutuhkan dua dalil, yaitu al-imkan ‘aqlan (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut naqlan (ketetapan berdasarkan nash-nash syari’at).
Mungkin terjadinya secara akal, yakni tidak termasuk mustahil secara akal, yaitu sesuatu yang tidak mungkin tergambar oleh akal wujudnya, seperti pernyataan bahwa benda bergerak dan diam pada satu waktu yang bersamaan, tempat yang sama, dan arah yang sama pula. Dan mukjizat para nabi dan karamah para awliya’ termasuk perkara yang jaiz, mungkin terjadinya, menurut akal. Karena perkara yang mustahil secara akal, mustahil pula terjadinya meski sekadar dalam khayalan.
Menghidupkan orang yang sudah mati, sebagaimana terjadi pada Nabi Isa AS, misalnya, telah dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan penetapan terjadinya peristiwa itu menurut nash syari’at, yang mana menghidupkan orang yang sudah mati termasuk mukjizat yang paling agung. Akan tetapi, tidak adanya riwayat yang menyebutkan terjadinya hal itu bagi selain Nabi Isa AS tidaklah menunjukkan bahwa hal itu mustahil terjadinya pada selain Nabi Isa AS.
Di sana terdapat perbedaan antara apa yang mungkin terjadi dan apa yang belum terjadi berdasarkan ketetapan nash-nash syari’at. Tidak ada riwayat shahih yang menetapkan bahwa Nabi SAW menghidupkan orang yang mati padahal beliau lebih dekat dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dibanding Nabi Isa AS. Namun Imam Syafi‘i berkata, “Tidaklah seorang nabi diberi mukjizat oleh Allah SWT kecuali Nabi SAW diberi mukjizat sejenisnya yang lebih agung darinya.”
Ketika Imam Syafi‘i ditanya perihal Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, ia menjawab, “Tangisan pilu batang kurma lebih agung dalam masalah ini.” Karena menghidupkan yang sudah mati berarti mengembalikan kehidupan bagi sesuatu yang sudah pernah hidup sebelumnya. Sedangkan tangisan pilu batang kurma berarti memberikan kehidupan yang serupa dengan kehidupan manusia bagi sesuatu yang tidak memiliki kehidupan seperti manusia.
Para ulama menyatakan, hal itu merupakan mukjizat Nabi SAW, dan setiap karamah para wali adalah mukjizat Nabi SAW, karena mereka menerima karamah tersebut dengan sebab ittiba (mengikuti jalan) Rasulullah SAW sehingga semua karamah yang dikaruniakan Allah kepada para wali tidak lain adalah mukjizat-mukjizat beliau SAW.
Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa mukjizat membutuhkan al-imkanul ‘aqliy (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut an-naqliy (ketetapan berdasarkan nash-nash syari’at). Demikian pula halnya dengan karamah. Hanya saja perbedaan keduanya adalah bahwa yang pertama adalah pengakuan Nabi SAW, sedangkan yang kedua bukan pengakuan Nabi SAW. Perbedaannya juga bahwa iman kepada setiap mukjizat wajib hukumnya pada dzatnya; adapun karamah para wali, wajib iman kepadanya secara umum, bukan kepada tiap-tiap karamah yang terjadi pada masing-masing setiap wali, kecuali terhadap karamah-karamah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.
Adapun berkaitan dengan masalah bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar, dapat dikatakan bahwa hal itu termasuk mumkin syar‘an wa ‘aqlan (mungkin atau boleh terjadinya secara syari’at dan akal).
Mungkin secara akal telah diuraikan di atas. Adapun menurut syariat, dasarnya adalah kaidah: segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali. Dan nash syari’at yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya telah menetapkan bagi siapa pun yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi akan bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dalam bab at-Ta‘bir, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.” Kemudian Imam Al-Bukhari menyebutkan pula secara langsung riwayat lain dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, sungguh dia telah melihatku, karena sesungguhnya setan tidak dapat menyerupai diriku. Dan mimpi seorang mukmin adalah bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”
Selanjutnya, sebagian ulama menjelaskan bahwa lafazh hadits ini menggunakan kata “fasayarani”. Huruf sin yang menunjukkan arti “akan” bila dimasukkan dalam fi`il mudhari`(kata kerja bentuk kedua yang menunjukkan makna kini dan akan datang), dalam kaidah bahasa Arab, digunakan untuk menunjukkan jarak waktu yang dekat. Berbeda dengan kata sawfa, yang bermakna “niscaya akan”, digunakan untuk masa yang jauh. Dan Nabi SAW tidak berkata-kata dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang datangnya dari Allah SWT. Itulah sebabnya, ucapan yang keluar dari lisan beliau adalah ucapan yang paling kuat, yang tidak ada kerancuan padanya atau sesuatu yang mendatangkan keraguan.
Bila yang dimaksud “melihat” dalam hadits tersebut adalah melihat kelak pada hari Kiamat, niscaya beliau berkata “sawfa yarani” (niscaya akan). Sedangkan ulama sepakat bahwa semua orang mukmin akan bertemu dengan Nabi SAW pada hari Kiamat. Lalu di mana perbedaan dan keistimewaan bagi orang yang mimpi bertemu Nabi di dunia, atau apakah hanya orang yang bertemu Nabi dalam mimpi yang akan bertemu beliau kelak pada hari Kiamat?
Sayyid Muhammad Al-Maliki mengatakan, “Adapun bagi pihak yang mentakwilkannya dengan melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar di akhirat, jawaban para ulama terhadap mereka: sesungguhnya di akhirat, setiap orang yang beriman akan melihat Baginda SAW, sama saja yang pernah bermimpi berjumpa dengan beliau di dunia maupun yang tidak pernah bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, seperti yang dijelaskan dalam banyak hadist shahih yang lain. Hal ini menyebabkan, tidak ada pengkhususan antara mereka yang pernah melihat Nabi di dalam mimpi ataupun tidak. Sedangkan hadits tersebut menceritakan ihwal pengkhususan terhadap mereka yang pernah bermimpi bertemu Nabi dari mereka yang tidak pernah bermimpi berjumpa Nabi, yaitu, ‘ia akan melihatku dalam keadaan sadar’.”
Selain itu, Imam As-Suyuthi, dalam kitab Tanwir Al-Halk fi Imkan Ra’yah An-Nabiy fi Al-Yaqzhah wa Al-Malak, menukilkan penjelasan Imam Abu Muhammad bin Abi Jumrah, ia berkata dalam ta’liq-nya (komentar) terhadap hadits riwayat Al-Bukhari, “Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi, niscaya orang tersebut akan bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dan apakah hal ini berlaku umum pada masa Nabi hidup dan sesudah beliau wafat, ataukah hanya pada masa hidup beliau? Kemudian apakah hal itu berlaku bagi setiap orang yang melihat Nabi dalam mimpi, atau khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW?
Lafazh hadits ini menunjukkan keumumannya; dan barang siapa menyatakan kekhususan dengan tanpa adanya dalil yang mengkhususkannya dari Nabi SAW, orang tersebut telah berlaku sembrono.
Namun sebagian orang benar-benar tidak meyakini keumuman hadits ini. Ia berkata dengan apa yang ada dalam pikirannya, ‘Bagaimana mungkin seseorang yang sudah meninggalkan dunia dapat dilihat oleh orang yang masih hidup di alam nyata?’
Pendapat semacam ini mengandung dua hal yang sangat berbahaya, yaitu: pertama, tidak mempercayai ucapan Nabi SAW, yang tidaklah mengucapkan sesuat dari keinginanya; dan yang kedua, bodoh terhadap kekuasaan Yang Mahakuasa dan menganggapnya lemah.…”
Imam As-Suyuthi berkata, “Ungkapan Imam Ibnu Abi Jumrah bahwa ‘Lafazh hadits ini menunjukkan keumumannya’ tidak khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW, maksudnya adalah kepastian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar setelah melihat beliau dalam mimpi, meskipun hanya sekali, sebagai bukti dari janji beliau SAW yang tidak akan mungkin diingkari. Dan bagi orang awam, hal itu banyak terjadi pada saat-saat menjelang kematian, yaitu pada saat hadirnya sakratul maut. Yang mana ruhnya tidak akan keluar dari jasadnya sebelum melihat Nabi SAW sebagai perwujudan dari janji beliau SAW.
Adapun bagi selain orang-orang awam, melihat dan bertemu Nabi SAW dapat terjadi sepanjang hidup mereka, baik itu sering ataupun jarang, tergantung dari kesungguhan dan pemeliharaan mereka terhadap sunnah Nabi SAW. Dan melanggar sunnah Nabi SAW merupakan penghalang yang besar untuk dapat melihat dan bertemu dengan beliau SAW.”
Sejauh Mana Cinta Kita
Itulah sebabnya, bagi yang mengharapkan mendapat anugerah besar dapat mimpi dan bertemu Nabi SAW, penting bagi kita untuk merenungi kisah berikut, sebagai muhasabah sejauh mana kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dan seberapa besar pula tekad dan kesungguhan kita dalam menjalankan sunnah-sunnah beliau SAW.
Pada suatu ketika seorang murid berjalan menuju rumah gurunya. Tampak di wajahnya ia sedang menginginkan sesuatu. Ketika sampai di rumah sang guru, dia duduk bersimpuh dengan sangat beradab di hadapan sang guru, yang tak bergerak sedikit pun. Kemudian dengan wajah dan suara yang berwibawa, bertanyalah sang guru kepada muridnya, “Apakah yang membuatmu datang kepadaku di tengah malam begini?”
“Wahai Guru, sudah lama aku ingin melihat nabiku SAW walau hanya lewat mimpi, tetapi keinginanku belum terkabul juga,” jawab sang murid dengan nada sungguh-sungguh.
“Oh… itu rupanya yang kau inginkan. Tunggu sebentar.”
Sang guru mengeluarkan pena, kemudian menuliskan sesuatu untuk muridnya. “Ini…, bacalah setiap hari sebanyak seribu kali, insya Allah kau akan bertemu dengan nabimu.”
Pulanglah murid membawa catatan dari sang guru, dengan penuh harapan ia akan bertemu dengan Rasulullah SAW. Tetapi setelah beberapa minggu kembalilah murid itu ke rumah gurunya, memberitahukan bahwa bacaan yang diberikannya tidak berpengaruh apa-apa.
Kemudian sang guru memberikan bacaan baru untuk dicobanya lagi. Sayangnya, beberapa minggu setelah itu muridnya kembali lagi memberitahukan kejadian yang sama. Setelah berdiam beberapa saat, berkatalah sang guru, “Nanti malam engkau datang ke rumahku, kuundang makan malam.” Sang murid heran. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ingin bertemu Nabi, tetapi kok diundang makan malam?” Sebagai murid yang taat, ia memenuhi undangan makan malam sang guru. Datanglah ia ke rumah gurunya untuk menikmati hidangan malamnya.
Tenyata sang guru hanya menghidangkan ikan asin dan segera memerintahkan muridnya untuk menghabiskannya. “Makan, makanlah semua, dan jangan biarkan tersisa sedikit pun.” Sang murid pun menghabiskan seluruh ikan asin yang ada. Setelah itu ia merasa kehausan, karena memang ikan asin membuat orang haus. Tetapi ketika ingin meneguk air yang ada di depan matanya, sang guru melarangnya. “Kau tidak boleh meminum air itu hingga esok pagi, dan malam ini kau akan tidur di rumahku!” kata sang guru. Dengan penuh keheranan, ia menuruti perintah sang guru. Ketika malam semakin larut, sang murid merasa susah tertidur, karena kehausan. Ia membolak-balikkan badannya, hingga akhirnya tertidur juga karena kelelahan.
Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu gurunya membawakan satu ember air dingin lalu mengguyurkan ke badannya. Lalu terjagalah ia karena mimpi itu, seakan-akan benar-benar terjadi pada dirinya. Kemudian ia mendapati gurunya telah berdiri di hadapannya dan berkata, “Apa yang kau impikan?” “Guru, aku tidak bermimpi tentang Nabi SAW. Aku bermimpi, guru membawa air dingin lalu mengguyurkan ke badanku.” Tersenyumlah sang guru karena jawaban muridnya. Kemudian dengan bijaksana ia berkata, “Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.” Menangislah si murid, ia menyadari bahwa di dalam dirinya belum ada rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Ia masih lebih mencintai dunia daripada Nabi SAW. Ia menyadari bahwa selama itu ia masih sering meninggalkan sunnah-sunnahnya, bahkan ia pun merasa masih sering menyakiti hati umat Rasulullah SAW.
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani (1150 H/1737 M) adalah imam besaar yang diyakini sebagai seorang wali quthb. Sejak usia tujuh tahun Syaikh At-Tijani telah hafal Al-Qur’an. Kemudian pada usia dua puluh tahun ia telah mendalami berbagai cabang ilmu; baik ilmu ushul, ilmu furu’, maupun ilmu adab. Menginjak usia tiga puluh satu tahun, Syaikh At-Tijani mendalami ilmu tasawuf dan terjun dalam dunia sufi sampai memasuki usia empat puluh enam tahun. Ia membersihkan jiwa, tenggelam dalam mengamalkan amalan thariqah dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah, seperti Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Fez (Maroko), dan Abu Samghun. Kunjungan kepada wali-wali besar itu dalam upaya silaturahim dan menapaki hikmah-hikmah kewalian secara lebih luas.
Pada saat itu para wali besar telah melihat dan mengakui bahwa Syaikh At-Tijani adalah wali besar, bahkan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ungkapan kesaksian demikian karena di dunia sufi diakui bahwa derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang hakikatnya berasal dari Allah SWT. Derajat wali, semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah.
Proses panjang Syaikh At-Tijani menapaki hikmah-hikmah kewalian melalui perjalanan panjang mengunjungi para awliya’ besar, berakhir di sebuah padang sahara bernama Abu Samghun di wilayah Aljazair. Syaikh At-Tijani mengunjungi daerah Abu Samghun pada tahun 1196 H/1782 M. Di tempat inilah ia mencapai anugerah al-fath al-akbar (pembukaan besar) dari Allah.
Pada saat al-fath al-akbar ini Syaikh At-Tijani mengaku berjumpa dengan Rasulullah SAW secara yaqzhah, sadar lahir dan bathin. Pada saat itu ia mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah SAW berupa istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian, pada tahun 1200 H/1786 M, wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah SAW dengan bacaan dzikir Hailalah (La ilaha illallah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW melalui perjumpaan secara yaqzhah inilah yang menjadi awal mula berdirinya Thariqah At-Tijaniyah.
Penggalan kisah perjalanan ruhani Syaikh At-Tijani di atas hingga bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan sadar lahir bathin adalah anugerah Ilahiyah hasil dari perjalanan panjang yang tidak setiap orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang terpilih sebagai kekasih-kekasih Allah.
Bertemu dengan Rasulullah SAW seperti yang dialami oleh Syaikh At-Tijani hanyalah satu dari berjuta lembaran riwayat yang mencatatkan perjumpaan terindah antara sang kekasih dengan tumpuan hatinya, antara perindu dengan kekasih tercintanya, dan antara umat yang teramat sayang dan rindu kepada nabinya, insan termulia, manusia pilihan, kekasih Tuhan semesta alam, habibuna Muhammad Rasulullah SAW.
Diriwayatkan, seorang waliyullah diberikan kecintaan lebih kepada Allah. Wali itu bernama Syaikh Balwas. Dinamakan “Syaikh Balwas” karena kelebihan cintanya itu kepada Allah. Ia melakukan hijrah ke sebuah gua, yang akhirnya ia dicerca dan dibenci oleh keluarganya, saudaranya, lingkungannya. Mirip yang dialami oleh Nabi Ayub AS.
Rindunya kepada Rasulullah SAW berapi-api hingga suatu ketika Allah mengilhamkan bacaan shalawat kepadanya, yang ternyata kelebihannya luar biasa bagi yang mengamalkannya. Syaikh Balwas merenungkan ayat Allah tentang kejadian manusia yang diumpamakan seekor burung kepada Nabi Ibrahim AS. Burung tersebut dipotong menjadi beberapa bagian, kemudian dihidupkan kembali.
“Ya Allah, semua orang adalah faqir (tidak punya). Nabi Khidhir juga faqir. Hanya Engkaulah Yang Mahakaya. Maka aku ingin bertemu dengan Rasulullah SAW secara yaqzhah,” ujar Syaikh Balwas suatu ketika.
Maka seluruh apa yang dimilikinya diberikan kepada orang lain. Termasuk istrinya, diserahkan kepada pihak kesultanan.
“Dan aku ini budak siapa pun,” kata Syaikh Balwas. Maka setiap ada yang meminta bantuannya karena Allah, ia menyerahkan dirinya untuk membantunya. Perilaku ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS.
Kemudian, datanglah Rasulullah SAW menjumpai Syaikh Balwas dalam keadaan sadar. Beliau memberikan bacaan shalawat kepadanya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Balwas untuk membacanya sebanyak 20.000 kali.
Berkata Syaikh Balwas, “Aku mengerjakannya dalam sehari semalam.” Lalu datanglah seseorang membawakan uang 20.000 dinar kepadanya.
Syaikh Balwas hidup pada masa Syaikh Samman Al-Madani. Ia adalah orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali Allah. Kisah ini termasyhur di kalangan pengikut Thariqah Idrisiyah.
Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, dalam kitabnya Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, menukil riwayat dari Syaikh Ahmad Al-Mubarak dalam kitab Al-Ibriz, meriwayatkan ihwal gurunya, Syaikh Al-Ghawts Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang menceritakan bahwa Nabi Khidhir AS memberinya satu wiridan, pada masa awal perjalanan kewaliannya, untuk diamalkan setiap hari dengan membacanya sebanyak 7000 kali. Wiridan itu berupa doa yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, dengan kedudukan penghulu kami, Nabi Muhammad bin Abdullah, kumpulkanlah aku bersama Nabi Muhammad di dunia sebelum di akhirat.”
Syaikh Abdul Aziz kemudian mendawamkan wirid ini sebagaimana dianjurkan oleh Nabi Khidhir AS hingga ia bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dalam pertemuan itu, Syaikh Abdul Aziz menanyakan kepada Nabi SAW berbagai permasalahan. Kemudian Nabi pun menjawab berbagai permasalahan yang diajukan tersebut dengan jawaban yang tidak satu pun bertentangan dengan penjelasan yang disebutkan oleh para imam, padahal Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang ummi, tidak dapat membaca ataupun menulis.
Selain itu, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengisahkan juga perjumpaannya dengan Syaikh Mahmud Al-Kurdi di makam Nabi SAW. Syaikh Kurdi menyatakan, dirinya selalu berjumpa dengan Nabi SAW dan berdialog dengan beliau. Pernah juga Syaikh Kurdi datang ke makam Nabi SAW dan dikatakan kepadanya bahwa beliau SAW sedang berkunjung kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib. Syaikh Kurdi juga menceritakan berbagai hal yang dialaminya bersama Rasulullah SAW selama itu. “Dan aku meyakini hal itu dan membenarkan apa yang diceritakannya itu, karena beliau termasuk salah satu ulama shadiqin,” kata Syaikh Yusuf menegaskan.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Yusuf juga menukilkan riwayat dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami, menghikayatkan dari Syaikh Ibnu Abi Jumrah, Syaikh Al-Bazi, Syaikh Al-Yafi, dan yang lainnya dari kalangan tabi‘in dan juga generasi sesudah mereka, bahwa mereka telah bertemu Nabi SAW dalam mimpi dan kemudian bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang perkara-perkara yang ghaib dan beliau pun menjawabnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah seperti apa yang dikhabarkan oleh Nabi SAW.
Syaikh Ibnu Abi Jumrah mengatakan, “Hal tersebut adalah bagian dari karamah awliya’, sehingga orang-orang yang mengingkarinya mestilah terjatuh ke dalam jurang pengingkaran terhadap karamah para awliya.”
Mungkinkah Bertemu Nabi?
Dapatkan seseorang bertemu, berbincang, bahkan berdialog dengan Nabi SAW, yang sudah wafat berabad-abad yang lalu, dalam keadaan sadar? Masalah ini memang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Karena ada banyak aspek yang jawabnya pun akan beragam pula berdasarkan aspek yang dimaksudkan dan ditanyakan.
Apakah pertanyaan itu menyangkut aspek syari’at dan tetapnya kemungkinan melihat Nabi SAW dengan dalil-dalil syari’at? Apakah pertanyaan itu berkaitan dengan makna melihat dan kapan terjadinya? Dan siapakah yang layak melihat Nabi SAW jika hal itu termasuk mungkin menurut syari’at?
Sesungguhnya permasalahan tentang melihat Nabi SAW secara nyata dan sadar telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.”
Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bary menukilkan bahwa hadits ini diriwayatkan dengan tiga lafazh yang berbeda, yakni: pertama dengan lafazh “niscaya akan melihatku dalam keadaan sadar”, kedua dengan lafazh “maka seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan sadar”, dan ketiga dengan lafazh “maka sungguh ia telah melihatku”.
Berkenaan dengan hadits ini, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan lafazh yang paling kuat di antara ketiga riwayat tersebut, meskipun mereka tidak berbeda pendapat dalam keshahihannya. Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menentukan makna dari ketiganya, terutama pada riwayat yang menyatakan, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar.”
Untuk mengetahui apakah mungkin bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar, menurut pandangan syari’at tidaklah dapat disimpulkan berdasarkan hadits ini. Melainkan berdasarkan hadits-hadits lain yang kedudukannya mendekati mutawatir (derajat tertinggi keshahihan hadits). Yakni, antara lain, hadits-hadits yang menjelaskan mungkinnya melihat arwah yang tidak lagi berada pada jasad duniawinya. Hal itu telah dialami oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam riwayat yang menjelaskan ihwal peristiwa Isra dan Mi‘raj.
Nabi SAW dipertemukan oleh Allah dengan arwah para nabi sebelumnya, yang menyerupai bentuk jasad mereka semasa di dunia, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih.
Dari riwayat tentang peristiwa Isra dan Mi‘raj yang dialami oleh Rasulullah SAW, dapat dipahami adanya kemungkinan melihat arwah menurut syari’at yang menjadi pembahasan kita kali ini, dengan tidak memandang kepada siapa yang mengalami peristiwa tersebut, yakni Rasulullah SAW. Hal itu tidak lain adalah mukjizat Nabi SAW.
Kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masalah karamah awliya’ berpandangan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususannya bagi Nabi SAW.
Pandangan ini telah dijelaskan oleh para imam, di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarh Muslim. Demikian itu karena karamah dan mukjizat, keduanya adalah sama-sama perkara yang di luar adat kebiasaan manusia yang datang dari Allah SWT. Perbedaan keduanya tidak terletak pada kemungkinan terjadinya, melainkan pada kedudukan mukjizat sebagai bukti nyata yang tidak dapat diingkari kebenarannya dan sebagai bukti kebenaran kenabian. Adapun karamah tidaklah demikian, melainkan sebagai karunia dan kemuliaan yang Allah berikan bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya dari para kekasih Allah.
Karamah-karamah tersebut banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, dengan tidak adanya batasan tertentu, selain bahwa hal itu mungkin terjadinya dengan kudrat Allah SWT dengan bentuk yang berbeda-beda berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami oleh masing-masing pelakunya. Seperti pertemuan dan dialog antara Maryam dan Jibril AS, pemindahan istana Bilqis dalam sekejap mata oleh salah seorang pengikut Nabi Sulaiman AS yang dikaruniai ilmu dari Al-Kitab, dan sebagainya.
Berdasarkan riwayat yang menetapkan bertemunya Nabi SAW dengan arwah para nabi dalam peristiwa Isra dan Mi‘raj, sebagai mukjizat bagi beliau, dapat dikatakan, sah pula bahwa arwah dapat dilihat oleh wali siapa pun dengan jalan di luar adat kebiasaan manusia, sebagai penghormatan dan kemuliaan dari Allah SWT. Karena bertemu dan melihat arwah tidaklah termasuk khushushiyah (sesuatu yang dikhususkan) bagi Nabi SAW semata, sehingga hal itu berlaku dalam konteks umum.
Pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, ini bersandarkan pada dasar-dasar yang kuat. Yakni bahwa pembahasan dalam masalah terjadinya perkara apa pun membutuhkan dua dalil, yaitu al-imkan ‘aqlan (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut naqlan (ketetapan berdasarkan nash-nash syari’at).
Mungkin terjadinya secara akal, yakni tidak termasuk mustahil secara akal, yaitu sesuatu yang tidak mungkin tergambar oleh akal wujudnya, seperti pernyataan bahwa benda bergerak dan diam pada satu waktu yang bersamaan, tempat yang sama, dan arah yang sama pula. Dan mukjizat para nabi dan karamah para awliya’ termasuk perkara yang jaiz, mungkin terjadinya, menurut akal. Karena perkara yang mustahil secara akal, mustahil pula terjadinya meski sekadar dalam khayalan.
Menghidupkan orang yang sudah mati, sebagaimana terjadi pada Nabi Isa AS, misalnya, telah dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan penetapan terjadinya peristiwa itu menurut nash syari’at, yang mana menghidupkan orang yang sudah mati termasuk mukjizat yang paling agung. Akan tetapi, tidak adanya riwayat yang menyebutkan terjadinya hal itu bagi selain Nabi Isa AS tidaklah menunjukkan bahwa hal itu mustahil terjadinya pada selain Nabi Isa AS.
Di sana terdapat perbedaan antara apa yang mungkin terjadi dan apa yang belum terjadi berdasarkan ketetapan nash-nash syari’at. Tidak ada riwayat shahih yang menetapkan bahwa Nabi SAW menghidupkan orang yang mati padahal beliau lebih dekat dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dibanding Nabi Isa AS. Namun Imam Syafi‘i berkata, “Tidaklah seorang nabi diberi mukjizat oleh Allah SWT kecuali Nabi SAW diberi mukjizat sejenisnya yang lebih agung darinya.”
Ketika Imam Syafi‘i ditanya perihal Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, ia menjawab, “Tangisan pilu batang kurma lebih agung dalam masalah ini.” Karena menghidupkan yang sudah mati berarti mengembalikan kehidupan bagi sesuatu yang sudah pernah hidup sebelumnya. Sedangkan tangisan pilu batang kurma berarti memberikan kehidupan yang serupa dengan kehidupan manusia bagi sesuatu yang tidak memiliki kehidupan seperti manusia.
Para ulama menyatakan, hal itu merupakan mukjizat Nabi SAW, dan setiap karamah para wali adalah mukjizat Nabi SAW, karena mereka menerima karamah tersebut dengan sebab ittiba (mengikuti jalan) Rasulullah SAW sehingga semua karamah yang dikaruniakan Allah kepada para wali tidak lain adalah mukjizat-mukjizat beliau SAW.
Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa mukjizat membutuhkan al-imkanul ‘aqliy (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut an-naqliy (ketetapan berdasarkan nash-nash syari’at). Demikian pula halnya dengan karamah. Hanya saja perbedaan keduanya adalah bahwa yang pertama adalah pengakuan Nabi SAW, sedangkan yang kedua bukan pengakuan Nabi SAW. Perbedaannya juga bahwa iman kepada setiap mukjizat wajib hukumnya pada dzatnya; adapun karamah para wali, wajib iman kepadanya secara umum, bukan kepada tiap-tiap karamah yang terjadi pada masing-masing setiap wali, kecuali terhadap karamah-karamah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.
Adapun berkaitan dengan masalah bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar, dapat dikatakan bahwa hal itu termasuk mumkin syar‘an wa ‘aqlan (mungkin atau boleh terjadinya secara syari’at dan akal).
Mungkin secara akal telah diuraikan di atas. Adapun menurut syariat, dasarnya adalah kaidah: segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali. Dan nash syari’at yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya telah menetapkan bagi siapa pun yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi akan bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dalam bab at-Ta‘bir, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.” Kemudian Imam Al-Bukhari menyebutkan pula secara langsung riwayat lain dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, sungguh dia telah melihatku, karena sesungguhnya setan tidak dapat menyerupai diriku. Dan mimpi seorang mukmin adalah bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”
Selanjutnya, sebagian ulama menjelaskan bahwa lafazh hadits ini menggunakan kata “fasayarani”. Huruf sin yang menunjukkan arti “akan” bila dimasukkan dalam fi`il mudhari`(kata kerja bentuk kedua yang menunjukkan makna kini dan akan datang), dalam kaidah bahasa Arab, digunakan untuk menunjukkan jarak waktu yang dekat. Berbeda dengan kata sawfa, yang bermakna “niscaya akan”, digunakan untuk masa yang jauh. Dan Nabi SAW tidak berkata-kata dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang datangnya dari Allah SWT. Itulah sebabnya, ucapan yang keluar dari lisan beliau adalah ucapan yang paling kuat, yang tidak ada kerancuan padanya atau sesuatu yang mendatangkan keraguan.
Bila yang dimaksud “melihat” dalam hadits tersebut adalah melihat kelak pada hari Kiamat, niscaya beliau berkata “sawfa yarani” (niscaya akan). Sedangkan ulama sepakat bahwa semua orang mukmin akan bertemu dengan Nabi SAW pada hari Kiamat. Lalu di mana perbedaan dan keistimewaan bagi orang yang mimpi bertemu Nabi di dunia, atau apakah hanya orang yang bertemu Nabi dalam mimpi yang akan bertemu beliau kelak pada hari Kiamat?
Sayyid Muhammad Al-Maliki mengatakan, “Adapun bagi pihak yang mentakwilkannya dengan melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar di akhirat, jawaban para ulama terhadap mereka: sesungguhnya di akhirat, setiap orang yang beriman akan melihat Baginda SAW, sama saja yang pernah bermimpi berjumpa dengan beliau di dunia maupun yang tidak pernah bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, seperti yang dijelaskan dalam banyak hadist shahih yang lain. Hal ini menyebabkan, tidak ada pengkhususan antara mereka yang pernah melihat Nabi di dalam mimpi ataupun tidak. Sedangkan hadits tersebut menceritakan ihwal pengkhususan terhadap mereka yang pernah bermimpi bertemu Nabi dari mereka yang tidak pernah bermimpi berjumpa Nabi, yaitu, ‘ia akan melihatku dalam keadaan sadar’.”
Selain itu, Imam As-Suyuthi, dalam kitab Tanwir Al-Halk fi Imkan Ra’yah An-Nabiy fi Al-Yaqzhah wa Al-Malak, menukilkan penjelasan Imam Abu Muhammad bin Abi Jumrah, ia berkata dalam ta’liq-nya (komentar) terhadap hadits riwayat Al-Bukhari, “Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi, niscaya orang tersebut akan bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dan apakah hal ini berlaku umum pada masa Nabi hidup dan sesudah beliau wafat, ataukah hanya pada masa hidup beliau? Kemudian apakah hal itu berlaku bagi setiap orang yang melihat Nabi dalam mimpi, atau khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW?
Lafazh hadits ini menunjukkan keumumannya; dan barang siapa menyatakan kekhususan dengan tanpa adanya dalil yang mengkhususkannya dari Nabi SAW, orang tersebut telah berlaku sembrono.
Namun sebagian orang benar-benar tidak meyakini keumuman hadits ini. Ia berkata dengan apa yang ada dalam pikirannya, ‘Bagaimana mungkin seseorang yang sudah meninggalkan dunia dapat dilihat oleh orang yang masih hidup di alam nyata?’
Pendapat semacam ini mengandung dua hal yang sangat berbahaya, yaitu: pertama, tidak mempercayai ucapan Nabi SAW, yang tidaklah mengucapkan sesuat dari keinginanya; dan yang kedua, bodoh terhadap kekuasaan Yang Mahakuasa dan menganggapnya lemah.…”
Imam As-Suyuthi berkata, “Ungkapan Imam Ibnu Abi Jumrah bahwa ‘Lafazh hadits ini menunjukkan keumumannya’ tidak khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW, maksudnya adalah kepastian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar setelah melihat beliau dalam mimpi, meskipun hanya sekali, sebagai bukti dari janji beliau SAW yang tidak akan mungkin diingkari. Dan bagi orang awam, hal itu banyak terjadi pada saat-saat menjelang kematian, yaitu pada saat hadirnya sakratul maut. Yang mana ruhnya tidak akan keluar dari jasadnya sebelum melihat Nabi SAW sebagai perwujudan dari janji beliau SAW.
Adapun bagi selain orang-orang awam, melihat dan bertemu Nabi SAW dapat terjadi sepanjang hidup mereka, baik itu sering ataupun jarang, tergantung dari kesungguhan dan pemeliharaan mereka terhadap sunnah Nabi SAW. Dan melanggar sunnah Nabi SAW merupakan penghalang yang besar untuk dapat melihat dan bertemu dengan beliau SAW.”
Sejauh Mana Cinta Kita
Itulah sebabnya, bagi yang mengharapkan mendapat anugerah besar dapat mimpi dan bertemu Nabi SAW, penting bagi kita untuk merenungi kisah berikut, sebagai muhasabah sejauh mana kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dan seberapa besar pula tekad dan kesungguhan kita dalam menjalankan sunnah-sunnah beliau SAW.
Pada suatu ketika seorang murid berjalan menuju rumah gurunya. Tampak di wajahnya ia sedang menginginkan sesuatu. Ketika sampai di rumah sang guru, dia duduk bersimpuh dengan sangat beradab di hadapan sang guru, yang tak bergerak sedikit pun. Kemudian dengan wajah dan suara yang berwibawa, bertanyalah sang guru kepada muridnya, “Apakah yang membuatmu datang kepadaku di tengah malam begini?”
“Wahai Guru, sudah lama aku ingin melihat nabiku SAW walau hanya lewat mimpi, tetapi keinginanku belum terkabul juga,” jawab sang murid dengan nada sungguh-sungguh.
“Oh… itu rupanya yang kau inginkan. Tunggu sebentar.”
Sang guru mengeluarkan pena, kemudian menuliskan sesuatu untuk muridnya. “Ini…, bacalah setiap hari sebanyak seribu kali, insya Allah kau akan bertemu dengan nabimu.”
Pulanglah murid membawa catatan dari sang guru, dengan penuh harapan ia akan bertemu dengan Rasulullah SAW. Tetapi setelah beberapa minggu kembalilah murid itu ke rumah gurunya, memberitahukan bahwa bacaan yang diberikannya tidak berpengaruh apa-apa.
Kemudian sang guru memberikan bacaan baru untuk dicobanya lagi. Sayangnya, beberapa minggu setelah itu muridnya kembali lagi memberitahukan kejadian yang sama. Setelah berdiam beberapa saat, berkatalah sang guru, “Nanti malam engkau datang ke rumahku, kuundang makan malam.” Sang murid heran. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ingin bertemu Nabi, tetapi kok diundang makan malam?” Sebagai murid yang taat, ia memenuhi undangan makan malam sang guru. Datanglah ia ke rumah gurunya untuk menikmati hidangan malamnya.
Tenyata sang guru hanya menghidangkan ikan asin dan segera memerintahkan muridnya untuk menghabiskannya. “Makan, makanlah semua, dan jangan biarkan tersisa sedikit pun.” Sang murid pun menghabiskan seluruh ikan asin yang ada. Setelah itu ia merasa kehausan, karena memang ikan asin membuat orang haus. Tetapi ketika ingin meneguk air yang ada di depan matanya, sang guru melarangnya. “Kau tidak boleh meminum air itu hingga esok pagi, dan malam ini kau akan tidur di rumahku!” kata sang guru. Dengan penuh keheranan, ia menuruti perintah sang guru. Ketika malam semakin larut, sang murid merasa susah tertidur, karena kehausan. Ia membolak-balikkan badannya, hingga akhirnya tertidur juga karena kelelahan.
Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu gurunya membawakan satu ember air dingin lalu mengguyurkan ke badannya. Lalu terjagalah ia karena mimpi itu, seakan-akan benar-benar terjadi pada dirinya. Kemudian ia mendapati gurunya telah berdiri di hadapannya dan berkata, “Apa yang kau impikan?” “Guru, aku tidak bermimpi tentang Nabi SAW. Aku bermimpi, guru membawa air dingin lalu mengguyurkan ke badanku.” Tersenyumlah sang guru karena jawaban muridnya. Kemudian dengan bijaksana ia berkata, “Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.” Menangislah si murid, ia menyadari bahwa di dalam dirinya belum ada rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Ia masih lebih mencintai dunia daripada Nabi SAW. Ia menyadari bahwa selama itu ia masih sering meninggalkan sunnah-sunnahnya, bahkan ia pun merasa masih sering menyakiti hati umat Rasulullah SAW.