Kamis, 21 Februari 2013

Sejauh Mana Rindu Kita Berjumpa Dengan Nabi SAW

====================
==========================
Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.”

 Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani (1150 H/1737 M) adalah imam besaar yang diyakini sebagai seorang wali quthb. Sejak usia tujuh tahun Syaikh At-Tijani telah hafal Al-Qur’an. Kemudian pada usia dua puluh tahun ia telah mendalami berbagai ca­bang ilmu; baik ilmu ushul, ilmu furu’, mau­pun ilmu adab. Menginjak usia tiga puluh satu tahun, Syaikh At-Tijani mendalami ilmu tasawuf dan terjun dalam dunia sufi sampai memasuki usia empat puluh enam tahun. Ia membersihkan jiwa, tenggelam dalam mengamalkan amalan thariqah dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah, se­perti Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Fez (Maroko), dan Abu Samghun. Kun­jungan kepada wali-wali besar itu dalam upaya silaturahim dan menapaki hik­mah-hikmah kewalian secara lebih luas.

Pada saat itu para wali besar telah melihat dan mengakui bahwa Syaikh At-Tijani adalah wali besar, bahkan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ungkap­an kesaksian demikian karena di dunia sufi diakui bahwa derajat kewalian hanya bisa di­ketahui oleh sesama wali, yang haki­katnya berasal dari Allah SWT. Derajat wali, semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah.

Proses panjang Syaikh At-Tijani me­napaki hikmah-hikmah kewalian melalui perja­lanan panjang mengunjungi para awliya’ besar, berakhir di sebuah padang sahara bernama Abu Samghun di wila­yah Alja­zair. Syaikh At-Tijani meng­un­jungi dae­rah Abu Samghun pada tahun 1196 H/1782 M. Di tempat inilah ia men­capai anu­gerah al-fath al-akbar (pembu­kaan be­sar) dari Allah.

Pada saat al-fath al-akbar ini Syaikh At-Tijani mengaku berjumpa dengan Ra­sulullah SAW secara yaqzhah, sadar la­hir dan bathin. Pada saat itu ia mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah SAW berupa istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian, pada tahun 1200 H/1786 M, wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah SAW dengan baca­an dzikir Hailalah (La ilaha illallah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW melalui perjumpa­an secara yaqzhah inilah yang menjadi awal mula berdirinya Thariqah At-Tija­niyah.

Penggalan kisah perjalanan ruhani Syaikh At-Tijani di atas hingga bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan sadar lahir bathin adalah anugerah Ilahi­yah hasil dari perjalanan panjang yang tidak setiap orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang terpilih sebagai ke­kasih-kekasih Allah.

Bertemu dengan Rasulullah SAW se­perti yang dialami oleh Syaikh At-Tijani hanyalah satu dari berjuta lembar­an riwayat yang mencatatkan perjumpa­an terindah antara sang kekasih dengan tumpuan hatinya, antara perindu dengan kekasih tercintanya, dan antara umat yang teramat sayang dan rindu kepada nabinya, insan termulia, manusia pilihan, kekasih Tuhan semesta alam, habibuna Muhammad Rasulullah SAW.

Diriwayatkan, seorang waliyullah diberikan kecintaan lebih kepada Allah. Wali itu bernama Syaikh Balwas. Di­nama­kan “Syaikh Balwas” karena kele­bihan cintanya itu kepada Allah. Ia melakukan hijrah ke sebuah gua, yang akhirnya ia dicerca dan dibenci oleh keluarganya, saudaranya, lingkung­annya. Mirip yang dialami oleh Nabi Ayub AS.

Rindunya kepada Rasulullah SAW berapi-api hingga suatu ketika Allah mengilhamkan bacaan shalawat kepada­nya, yang ternyata kelebihannya luar biasa bagi yang mengamalkannya. Syaikh Balwas merenungkan ayat Allah tentang kejadian manusia yang dium­pamakan seekor burung kepada Nabi Ibrahim AS. Burung tersebut dipotong men­jadi beberapa bagian, kemudian di­hidupkan kembali.

“Ya Allah, semua orang adalah faqir (tidak punya). Nabi Khidhir juga faqir. Hanya Engkaulah Yang Mahakaya. Maka aku ingin bertemu dengan Rasul­ullah SAW secara yaqzhah,” ujar Syaikh Balwas suatu ketika.

Maka seluruh apa yang dimilikinya di­berikan kepada orang lain. Termasuk istri­nya, diserahkan kepada pihak kesul­tanan.

“Dan aku ini budak siapa pun,” kata Syaikh Balwas. Maka setiap ada yang meminta bantuannya karena Allah, ia me­nyerahkan dirinya untuk membantu­nya. Perilaku ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS.

Kemudian, datanglah Rasulullah SAW menjumpai Syaikh Balwas dalam keadaan sadar. Beliau memberikan bacaan shalawat kepadanya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Balwas untuk membacanya sebanyak 20.000 kali.

Berkata Syaikh Balwas, “Aku menger­jakannya dalam sehari semalam.” Lalu datanglah seseorang membawa­kan uang 20.000 dinar kepadanya.

Syaikh Balwas hidup pada masa Syaikh Samman Al-Madani. Ia adalah orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali Allah. Kisah ini termasyhur di kalangan pengikut Tha­riqah Idrisiyah.

Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, dalam kitabnya Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, menukil riwayat dari Syaikh Ahmad Al-Mubarak dalam kitab Al-Ibriz, meriwayatkan ihwal gurunya, Syaikh Al-Ghawts Abdul Aziz Ad-Dab­bagh, yang menceritakan bahwa Nabi Khidhir AS memberinya satu wiridan, pada masa awal perjalanan kewalian­nya, untuk diamalkan setiap hari dengan membacanya sebanyak 7000 kali. Wirid­an itu berupa doa yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, dengan kedudukan peng­hulu kami, Nabi Muhammad bin Abdullah, kumpulkanlah aku bersama Nabi Muhammad di dunia sebelum di akhirat.”

Syaikh Abdul Aziz kemudian menda­wamkan wirid ini sebagaimana dianjur­kan oleh Nabi Khidhir AS hingga ia ber­temu dengan Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dalam pertemuan itu, Syaikh Abdul Aziz menanyakan kepada Nabi SAW ber­bagai permasalahan. Kemudian Nabi pun menjawab berbagai permasalahan yang diajukan tersebut dengan jawaban yang tidak satu pun bertentangan de­ngan penjelasan yang disebutkan oleh para imam, padahal Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang ummi, tidak dapat membaca ataupun menulis.

Selain itu, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengisahkan juga perjumpaannya de­ngan Syaikh Mahmud Al-Kurdi di makam Nabi SAW. Syaikh Kurdi menyatakan, dirinya selalu berjumpa dengan Nabi SAW dan berdialog dengan beliau. Per­nah juga Syaikh Kurdi datang ke makam Nabi SAW dan dikatakan kepadanya bahwa beliau SAW sedang berkunjung kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib. Syaikh Kurdi juga mencerita­kan berbagai hal yang dialaminya ber­sama Rasulullah SAW selama itu. “Dan aku meyakini hal itu dan membenarkan apa yang diceritakannya itu, karena be­liau termasuk salah satu ulama shadi­qin,” kata Syaikh Yusuf menegaskan.

Dalam kitab yang sama, Syaikh Yusuf juga menukilkan riwayat dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami, menghi­kayatkan dari Syaikh Ibnu Abi Jumrah, Syaikh Al-Bazi, Syaikh Al-Yafi, dan yang lainnya dari kalangan tabi‘in dan juga generasi sesudah mereka, bahwa mere­ka telah bertemu Nabi SAW dalam mim­pi dan kemudian bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang perkara-per­kara yang ghaib dan beliau pun menja­wabnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah seperti apa yang dikhabarkan oleh Nabi SAW.

Syaikh Ibnu Abi Jumrah mengata­kan, “Hal tersebut adalah bagian dari karamah awliya’, sehingga orang-orang yang mengingkarinya mestilah terjatuh ke dalam jurang pengingkaran terhadap karamah para awliya.”

Mungkinkah Bertemu Nabi?
Dapatkan seseorang bertemu, ber­bin­cang, bahkan berdialog dengan Nabi SAW, yang sudah wafat berabad-abad yang lalu, dalam keadaan sadar? Ma­salah ini memang menimbulkan perbe­da­an pendapat di kalangan umat Islam. Karena ada banyak aspek yang jawab­nya pun akan beragam pula berdasar­kan aspek yang dimaksudkan dan di­tanyakan.

Apakah pertanyaan itu menyangkut aspek syari’at dan tetapnya kemungkin­an melihat Nabi SAW dengan dalil-dalil syari’at? Apakah pertanyaan itu berkait­an dengan makna melihat dan kapan ter­jadinya? Dan siapakah yang layak meli­hat Nabi SAW jika hal itu termasuk mung­kin menurut syari’at?

Sesungguhnya permasalahan ten­tang melihat Nabi SAW secara nyata dan sadar telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayat­kan dari Abu Hurairah RA bahwa Ra­sulullah SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.”

Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bary menukilkan bahwa hadits ini diriwayatkan dengan tiga lafazh yang berbeda, yakni: pertama dengan lafazh “niscaya akan melihatku dalam keadaan sadar”, kedua dengan lafazh “maka se­akan-akan ia telah melihatku dalam ke­adaan sadar”, dan ketiga dengan lafazh “maka sungguh ia telah melihatku”.

Berkenaan dengan hadits ini, para ulama berbeda pendapat dalam menen­tukan lafazh yang paling kuat di antara ketiga riwayat tersebut, meskipun mere­ka tidak berbeda pendapat dalam kesha­hihannya. Perbedaan pendapat juga ter­jadi dalam menentukan makna dari ke­tiganya, terutama pada riwayat yang me­nyatakan, “Barang siapa melihatku da­lam mimpi, niscaya ia akan melihatku da­lam keadaan sadar.”

Untuk mengetahui apakah mungkin bertemu Nabi SAW dalam keadaan sa­dar, menurut pandangan syari’at tidaklah dapat disimpulkan berdasarkan hadits ini. Melainkan berdasarkan hadits-hadits lain yang kedudukannya mendekati mutawatir (derajat tertinggi keshahihan hadits). Yakni, antara lain, hadits-hadits yang menjelaskan mungkinnya melihat arwah yang tidak lagi berada pada jasad duniawinya. Hal itu telah dialami oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam ri­wayat yang menjelaskan ihwal peristiwa Isra dan Mi‘raj.

Nabi SAW dipertemukan oleh Allah de­ngan arwah para nabi sebelumnya, yang menyerupai bentuk jasad mereka se­masa di dunia, sebagaimana dijelas­kan dalam hadits-hadits yang shahih.

Dari riwayat tentang peristiwa Isra dan Mi‘raj yang dialami oleh Rasulullah SAW, dapat dipahami adanya kemung­kin­an melihat arwah menurut syari’at yang menjadi pembahasan kita kali ini, dengan tidak memandang kepada siapa yang mengalami peristiwa tersebut, yakni Rasulullah SAW. Hal itu tidak lain adalah mukjizat Nabi SAW.

Kalangan ulama Ahlussunnah wal Ja­ma’ah dalam masalah karamah aw­liya’ berpandangan bahwa segala se­suatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususannya bagi Nabi SAW.

Pandangan ini telah dijelaskan oleh para imam, di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarh Muslim. Demikian itu karena karamah dan mukjizat, kedua­nya adalah sama-sama perkara yang di luar adat kebiasaan manusia yang da­tang dari Allah SWT. Perbedaan kedua­nya tidak terletak pada kemungkinan ter­jadinya, melainkan pada kedudukan muk­jizat sebagai bukti nyata yang tidak dapat diingkari kebenarannya dan se­bagai bukti kebenaran kenabian. Ada­pun karamah tidaklah demikian, melain­kan sebagai karunia dan kemuliaan yang Allah berikan bagi siapa pun yang dike­hendaki-Nya dari para kekasih Allah.

Karamah-karamah tersebut banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, dengan tidak adanya batasan tertentu, selain bahwa hal itu mungkin terjadinya dengan kudrat Allah SWT dengan bentuk yang berbeda-beda berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami oleh masing-masing pelakunya. Seperti pertemuan dan dialog antara Mar­yam dan Jibril AS, pemindahan is­tana Bilqis dalam sekejap mata oleh salah seorang pengikut Nabi Sulaiman AS yang dikaruniai ilmu dari Al-Kitab, dan sebagainya.

Berdasarkan riwayat yang menetap­kan bertemunya Nabi SAW dengan ar­wah para nabi dalam peristiwa Isra dan Mi‘raj, sebagai mukjizat bagi beliau, da­pat dikatakan, sah pula bahwa arwah da­pat dilihat oleh wali siapa pun dengan ja­lan di luar adat kebiasaan manusia, se­bagai penghormatan dan kemuliaan dari Allah SWT. Karena bertemu dan melihat arwah tidaklah termasuk khushushiyah (sesuatu yang dikhususkan) bagi Nabi SAW semata, sehingga hal itu berlaku dalam konteks umum.

Pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk men­jadi karamah bagi wali, ini bersan­dar­kan pada dasar-dasar yang kuat. Yakni bahwa pembahasan dalam masa­lah terjadinya perkara apa pun membu­tuh­kan dua dalil, yaitu al-imkan ‘aqlan (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut naqlan (ketetapan berda­sar­kan nash-nash syari’at).

Mungkin terjadinya secara akal, yak­ni tidak termasuk mustahil secara akal, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ter­gam­bar oleh akal wujudnya, seperti per­nyataan bahwa benda bergerak dan diam pada satu waktu yang bersamaan, tempat yang sama, dan arah yang sama pula. Dan mukjizat para nabi dan kara­mah para awliya’ termasuk perkara yang jaiz, mungkin terjadinya, menurut akal. Karena perkara yang mustahil secara akal, mustahil pula terjadinya meski se­kadar dalam khayalan.

Menghidupkan orang yang sudah mati, sebagaimana terjadi pada Nabi Isa AS, misalnya, telah dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjuk­kan penetapan terjadinya peristiwa itu me­nurut nash syari’at, yang mana meng­hidupkan orang yang sudah mati terma­suk mukjizat yang paling agung. Akan tetapi, tidak adanya riwayat yang me­nyebutkan terjadinya hal itu bagi selain Nabi Isa AS tidaklah menunjukkan bah­wa hal itu mustahil terjadinya pada selain Nabi Isa AS.

Di sana terdapat perbedaan antara apa yang mungkin terjadi dan apa yang belum terjadi berdasarkan ketetapan nash-nash syari’at. Tidak ada riwayat shahih yang menetapkan bahwa Nabi SAW menghidupkan orang yang mati padahal beliau lebih dekat dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah diban­ding Nabi Isa AS. Namun Imam Syafi‘i berkata, “Tidaklah seorang nabi diberi mukjizat oleh Allah SWT kecuali Nabi SAW diberi mukjizat sejenisnya yang lebih agung darinya.”

Ketika Imam Syafi‘i ditanya perihal Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, ia menjawab, “Tangisan pilu batang kurma lebih agung dalam masalah ini.” Karena menghidup­kan yang sudah mati berarti mengem­balikan kehidupan bagi sesuatu yang su­dah pernah hidup sebelumnya. Sedang­kan tangisan pilu batang kurma berarti memberikan kehidupan yang serupa de­ngan kehidupan manusia bagi sesuatu yang tidak memiliki kehidupan seperti manusia.

Para ulama menyatakan, hal itu me­rupakan mukjizat Nabi SAW, dan setiap karamah para wali adalah mukjizat Nabi SAW, karena mereka menerima kara­mah tersebut dengan sebab ittiba (meng­ikuti jalan) Rasulullah SAW sehing­ga semua karamah yang dika­runiakan Allah kepada para wali tidak lain adalah mukjizat-mukjizat beliau SAW.

Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa mukjizat membutuhkan al-imka­nul ‘aqliy (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut an-naqliy (ketetapan ber­dasarkan nash-nash syari’at). Demi­kian pula halnya dengan karamah. Ha­nya saja perbedaan keduanya adalah bah­wa yang pertama adalah pengakuan Nabi SAW, sedangkan yang kedua bu­kan pengakuan Nabi SAW. Perbedaan­nya juga bahwa iman kepada setiap muk­jizat wajib hukumnya pada dzatnya; adapun karamah para wali, wajib iman kepadanya secara umum, bukan kepada tiap-tiap karamah yang terjadi pada ma­sing-masing setiap wali, kecuali terha­dap karamah-karamah yang telah dite­tapkan dalam Al-Qur’an dan hadits-ha­dits Nabi SAW.

Adapun berkaitan dengan masalah ber­temu Nabi SAW dalam keadaan sa­dar, dapat dikatakan bahwa hal itu ter­masuk mumkin syar‘an wa ‘aqlan (mung­kin atau boleh terjadinya secara syari’at dan akal).

Mungkin secara akal telah diuraikan di atas. Adapun menurut syariat, dasar­nya adalah kaidah: segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali. Dan nash syari’at yang diri­wayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahih­nya telah menetapkan bagi siapa pun yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi akan bertemu dengan beliau dalam ke­adaan sadar.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dalam bab at-Ta‘bir, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa me­lihatku dalam mimpi, niscaya ia akan me­lihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.” Kemudian Imam Al-Bukhari menyebut­kan pula secara langsung riwayat lain dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, sungguh dia telah melihatku, karena se­sungguhnya setan tidak dapat menye­rupai diriku. Dan mimpi seorang mukmin adalah bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”

Selanjutnya, sebagian ulama menje­laskan bahwa lafazh hadits ini menggu­nakan kata “fasayarani”. Huruf sin yang me­nunjukkan arti “akan” bila dimasuk­kan dalam fi`il mudhari`(kata kerja ben­tuk kedua yang menunjukkan makna kini dan akan datang), dalam kaidah bahasa Arab, digunakan untuk menunjukkan jarak waktu yang dekat. Berbeda dengan kata sawfa, yang bermakna “niscaya akan”, digunakan untuk masa yang jauh. Dan Nabi SAW tidak berkata-kata dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang datangnya dari Allah SWT. Itulah sebabnya, ucapan yang keluar dari lisan beliau adalah ucapan yang paling kuat, yang tidak ada kerancuan padanya atau sesuatu yang mendatang­kan keraguan.

Bila yang dimaksud “melihat” dalam hadits tersebut adalah melihat kelak pada hari Kiamat, niscaya beliau berkata “sawfa yarani” (niscaya akan). Sedang­kan ulama sepakat bahwa semua orang mukmin akan bertemu dengan Nabi SAW pada hari Kiamat. Lalu di mana perbedaan dan keistimewaan bagi orang yang mimpi bertemu Nabi di dunia, atau apakah hanya orang yang bertemu Nabi dalam mimpi yang akan bertemu beliau kelak pada hari Kiamat?

Sayyid Muhammad Al-Maliki menga­takan, “Adapun bagi pihak yang mentak­wilkannya dengan melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar di akhirat, jawaban para ulama terhadap mereka: sesung­guhnya di akhirat, setiap orang yang ber­iman akan melihat Baginda SAW, sama saja yang pernah bermimpi berjumpa dengan beliau di dunia maupun yang tidak pernah bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, seperti yang dijelaskan dalam banyak hadist shahih yang lain. Hal ini menyebabkan, tidak ada peng­khususan antara mereka yang pernah melihat Nabi di dalam mimpi ataupun tidak. Sedangkan hadits tersebut men­ce­ritakan ihwal pengkhususan terhadap mereka yang pernah bermimpi bertemu Nabi dari mereka yang tidak pernah bermimpi berjumpa Nabi, yaitu, ‘ia akan melihatku dalam keadaan sadar’.”

Selain itu, Imam As-Suyuthi, dalam kitab Tanwir Al-Halk fi Imkan Ra’yah An-Nabiy fi Al-Yaqzhah wa Al-Malak, me­nukilkan penjelasan Imam Abu Muham­mad bin Abi Jumrah, ia berkata dalam ta’liq-nya (komentar) terhadap hadits riwayat Al-Bukhari, “Hadits ini menunjuk­kan bahwa barang siapa yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi, nis­caya orang tersebut akan bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dan apakah hal ini ber­laku umum pada masa Nabi hi­dup dan sesudah beliau wafat, ataukah hanya pada masa hidup beliau? Kemu­dian apakah hal itu berlaku bagi setiap orang yang melihat Nabi dalam mimpi, atau khusus bagi mereka yang memiliki ke­mampuan tertentu dan mengikuti sun­nah beliau SAW?

Lafazh hadits ini menunjukkan ke­umumannya; dan barang siapa menya­ta­kan kekhususan dengan tanpa adanya dalil yang mengkhususkannya dari Nabi SAW, orang tersebut telah berlaku sem­brono.

Namun sebagian orang benar-benar tidak meyakini keumuman hadits ini. Ia berkata dengan apa yang ada dalam pikirannya, ‘Bagaimana mungkin sese­orang yang sudah meninggalkan dunia dapat dilihat oleh orang yang masih hidup di alam nyata?’

Pendapat semacam ini mengandung dua hal yang sangat berbahaya, yaitu: pertama, tidak mempercayai ucapan Nabi SAW, yang tidaklah mengucapkan sesuat dari keinginanya; dan yang ke­dua, bodoh terhadap kekuasaan Yang Maha­kuasa dan menganggapnya lemah.…”

Imam As-Suyuthi berkata, “Ungkap­an Imam Ibnu Abi Jumrah bahwa ‘Lafazh hadits ini menunjukkan keumumannya’ tidak khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW, maksudnya adalah kepastian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar setelah melihat beliau dalam mimpi, meskipun hanya sekali, sebagai bukti dari janji beliau SAW yang tidak akan mungkin diingkari. Dan bagi orang awam, hal itu banyak terjadi pada saat-saat menjelang kematian, yaitu pada saat hadirnya sakratul maut. Yang mana ruhnya tidak akan keluar dari jasadnya sebelum melihat Nabi SAW sebagai perwujudan dari janji beliau SAW.

Adapun bagi selain orang-orang awam, melihat dan bertemu Nabi SAW dapat terjadi sepanjang hidup mereka, baik itu sering ataupun jarang, tergan­tung dari kesungguhan dan pemeliha­ra­an mereka terhadap sunnah Nabi SAW. Dan melanggar sunnah Nabi SAW merupakan penghalang yang besar untuk dapat melihat dan bertemu dengan beliau SAW.”

Sejauh Mana Cinta Kita
Itulah sebabnya, bagi yang mengha­rapkan mendapat anugerah besar dapat mimpi dan bertemu Nabi SAW, penting bagi kita untuk merenungi kisah berikut, sebagai muhasabah sejauh mana ke­cintaan kita kepada Rasulullah SAW dan seberapa besar pula tekad dan kesung­guhan kita dalam menjalankan sunnah-sunnah beliau SAW.

Pada suatu ketika seorang murid ber­jalan menuju rumah gurunya. Tam­pak di wajahnya ia sedang mengingin­kan sesuatu. Ketika sampai di rumah sang guru, dia duduk bersimpuh dengan sangat ber­adab di hadapan sang guru, yang tak bergerak sedikit pun. Kemudian dengan wajah dan suara yang berwibawa, bertanyalah sang guru kepada muridnya, “Apakah yang mem­buatmu datang kepadaku di tengah ma­lam begini?”

“Wahai Guru, sudah lama aku ingin melihat nabiku SAW walau hanya lewat mimpi, tetapi keinginanku belum terkabul juga,” jawab sang murid dengan nada sungguh-sungguh.

“Oh… itu rupanya yang kau inginkan. Tunggu sebentar.”

Sang guru mengeluarkan pena, ke­mudian menuliskan sesuatu untuk mu­ridnya. “Ini…, bacalah setiap hari se­banyak seribu kali, insya Allah kau akan bertemu dengan nabimu.”

Pulanglah murid membawa catatan dari sang guru, dengan penuh harapan ia akan bertemu dengan Rasulullah SAW. Tetapi setelah beberapa minggu kembalilah murid itu ke rumah gurunya, memberitahukan bahwa bacaan yang diberikannya tidak berpengaruh apa-apa.

Kemudian sang guru memberikan bacaan baru untuk dicobanya lagi. Sayangnya, beberapa minggu sete­lah itu muridnya kembali lagi memberi­tahukan kejadian yang sama. Setelah berdiam beberapa saat, ber­katalah sang guru, “Nanti malam engkau datang ke rumahku, kuundang makan ma­lam.” Sang murid heran. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ingin bertemu Nabi, tetapi kok diundang makan malam?” Sebagai murid yang taat, ia meme­nuhi undangan makan malam sang guru. Datanglah ia ke rumah gurunya untuk me­nikmati hidangan malamnya.

Tenyata sang guru hanya menghi­dang­kan ikan asin dan segera memerin­tahkan muridnya untuk menghabiskan­nya. “Makan, makanlah semua, dan ja­ngan biarkan tersisa sedikit pun.” Sang murid pun menghabiskan selu­ruh ikan asin yang ada. Setelah itu ia merasa kehausan, ka­rena memang ikan asin membuat orang haus. Tetapi ketika ingin meneguk air yang ada di depan matanya, sang guru mela­rangnya. “Kau tidak boleh meminum air itu hing­ga esok pagi, dan malam ini kau akan tidur di rumahku!” kata sang guru. Dengan penuh keheranan, ia menu­ruti perintah sang guru. Ketika malam semakin larut, sang murid merasa susah tertidur, karena ke­hausan. Ia membolak-balikkan badan­nya, hingga akhirnya tertidur juga karena kelelahan.

Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu gurunya membawakan satu ember air dingin lalu mengguyurkan ke badannya. Lalu terjagalah ia karena mimpi itu, se­akan-akan benar-benar terjadi pada diri­nya. Kemudian ia mendapati gurunya te­lah berdiri di hadapannya dan berkata, “Apa yang kau impikan?” “Guru, aku tidak bermimpi tentang Nabi SAW. Aku bermimpi, guru mem­bawa air dingin lalu mengguyurkan ke badanku.” Tersenyumlah sang guru karena ja­waban muridnya. Kemudian dengan bi­jaksana ia berkata, “Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi ber­temu Rasulullah SAW.” Menangislah si murid, ia menyadari bahwa di dalam dirinya belum ada rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Ia masih le­bih mencintai dunia daripada Nabi SAW. Ia menyadari bahwa selama itu ia ma­sih sering meninggalkan sunnah-sun­nahnya, bahkan ia pun merasa masih sering me­nyakiti hati umat Rasulullah SAW.

MALAIKAT BERKELILILING DI JALAN-JALAN UNTUK MENCARI KUMPULAN ORANG DZIKIR(Menyebut & Ingat Nama ALLOH)

============================

"Sesungguhnya Alloh Ta'ala itu mempunyai beberapa malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari para ahli dzikir, jikalau mereka menemukan sesuatu kaum yang berdzikir kepada Allah'Azza-wajalla lalu mereka memanggil-kawan-kawannya:"

=======================================

Keutamaan Berhimpun Untuk Berdzikir Dan Mengajak Untuk Menetapinya Dan Larangan Memisahkan Diri Daripadanya Kalau Tanpa 'Udzur(Halangan).

Allah Ta'ala berfirman: "Dan sabarkanlah dirimu berkumpul bersama orang-orang yang menyeru kepada Tuhan di waktu pagi dan petang. Mereka mengharapkan keridhaanNya dan janganlah engkau menghindarkan pandanganmu dari mereka itu." (al-Kahf: 21)

1444. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Alloh Ta'ala itu mempunyai beberapa malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari para ahli dzikir, jikalau mereka menemukan sesuatu kaum yang berdzikir kepada Allah'Azza-wajalla lalu mereka memanggil-kawan-kawannya: " Ke marilah.di sinilah ada hajatmu - ada yang engkau semua cari. Mereka lalu berputar di sekeliling orang-orang yang berdzikir itu serta menaungi mereka dengan sayap-sayapnya sampai ke langit dunia. Tuhan mereka lalu bertanya kepada mereka, tetapi Tuhan sebenarnya lebih Maha Mengetahui hal itu. Firman Tuhan: "Apakah yang diucapkan oleh hamba-hambaKu itu?" Para malaikat menjawab: "Mereka itu sama memaha sucikan Engkau, memaha besarkan, memuji serta memaha agungkan padaMu - yakni bertasbih, bertakbir, bertahmid dan bertamjid. Tuhan berfirman lagi: "Adakah mereka itu dapat melihat Aku?" Malaikat menjawab: "Tidak, demi Allah, mereka itu tidak melihat Engkau." FirmanNya: "Bagaimanakah sekiranya mereka dapat melihat Aku?" Dijawab: "Andaikata mereka melihat Engkau, tentulah mereka akan lebih giat ibadatnya padaMu, lebih sangat memaha agungkan padaMu, juga lebih banyak pula bertasbih padaMu." FirmanNya: "Apakah yang mereka minta itu?" Dijawab: "Mereka meminta syurga." FirmanNya: "Adakah mereka pernah melihat syurga?" Dijawab: "Tidak, demi Allah, ya Tuhan, mereka tidak pernah melihat syurga itu." FirmanNya: "Bagaimanakah andaikata mereka dapat melihatnya?" Dijawab: "Andaikata mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih lobanya pada syurga itu, lebih sangat mencarinya dan lebih besar keinginan mereka pada syurga tadi." FirmanNya: "Dari apakah mereka memohonkan perlindungan?" Dijawab: "Mereka mohon perlindungan daripada neraka." FirmanNya: "Adakah mereka pernah melihat neraka itu?" Dijawab: "Tidak, demi Allah mereka tidak pernah melihatnya." FirmanNya: "Bagaimanakah andaikata mereka pernah melihatnya?" Dijawab: "Andaikata mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih sangat larinya dan lebih sangat takutnya pada neraka itu." FirmanNya: "Kini Aku hendak mempersaksikan kepadamu semua bahwasanya Aku telah mengampunkan mereka itu." Nabi s.a.w.bersabda: "Ada salah satu di antara para malaikat itu berkata: "Di kalangan orang-orang yang berzikir itu ada seorang yang sebenarnya tidak termasuk golongan mereka; hanyasanya ia datang karena ada sesuatu hajat belaka." Allah berfirman: "Mereka adalah sekawanan sekedudukan dan tidak akan celakalah orang yang suka menemani mereka itu - yakni orang yang pendatang itupun memperoleh pengampunan pula." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu mempunyai para malaikat yang berkeliling - di bumi - dan utama-utama keadaannya. Tugas mereka ialah mengikuti majlis-majlis berzikir. Maka apabila mereka menemukan sesuatu majlis yang berisi zikir di dalamnya, merekapun lalu duduk bersama orang-orang yang berzikir itu dan saling berputar menaungi mereka dengan sayap-sayapnya antara satu dengan yang lainnya, sehingga memenuhi tempat yang ada di antara mereka dengan langit dunia. Selanjutnya jikalau orang-orang yang berzikir itu telah berpisah, para malaikat tadi lalu mendaki dan naik ke langit, kemudian Allah 'Azzawajalla bertanya kepada mereka, tetapi Allah sebenarnya lebih mengetahui tentang hal itu: "Dari manakah engkau semua datang?" Mereka menjawab: "Kita semua baru datang dari hamba-hambaMu yang ada di bumi, mereka itu sama bertasbih, bertakbir, bertahlil, bertahmid serta memohonkan sesuatu padaMu." FirmanNya; "Apakah yang mereka mohonkan padaKu?" Dijawab: "Mereka mohon akan syurgaMu." FirmanNya: "Apakah mereka pernah melihat syurgaKu itu?" Dijawab: "Tidak,ya Tuhan." FirmanNya: "Bagaimana pula sekiranya mereka pernah melihat syurgaKu itu." Para malaikat berkata lagi: "Mereka itu juga memohonkan perlindungan padaMu." FirmanNya: "Dari apakah mereka sama memohonkan perlindungan padaKu?" Dijawab; "Dari nerakaMu, ya Tuhan." FirmanNya: "Apakah mereka pernah melihat nerakaKu itu?" Dijawab: "Tidak pernah." FirmanNya: "Bagaimana pula sekiranya mereka pernah melihat nerakaKu." Para malaikat itu berkata lagi: "Mereka juga memohonkan pengampunan daripadaMu." Allah lalu berfirman: "Sungguh-sungguh Aku telah mengampuni mereka itu, kemudian Aku berikan pula apa-apa yang mereka minta dan Aku berikan perlindungan pula mereka itu dari apa-apa yang mereka mohonkan perlindungannya." Nabi s.a.w. bersabda: "Para malaikat itu berkata: "Ya Tuhan, di kalangan mereka ada seorang hamba yang banyak sekali kesalahannya, ia hanyalah berjalan saja melalui orang-orang yang berzikir tadi lalu duduk bersama mereka." Allah lalu berfirman: "Kepada orang itupun saya berikan pengampunan pula. Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang suka mengawani mereka."

1445. Dari Abu Hurairah dan dari Abu Said radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tiada sesuatu kaumpun yang duduk-duduk sambil berzikir kepada Allah, melainkan dikelilingi oleh para malaikat dan ditutupi oleh kerahmatan serta turunlah kepada mereka itu ketenangan -dalam hati mereka - dan Allah mengingatkan mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisinya - yakni disebut-sebutkan hal-ihwal mereka itu di kalangan para malaikat" (Riwayat Muslim)

1446. Dari Abu Waqid al-Harits bin 'Auf r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w., pada suatu ketika sedang duduk dalam masjid beserta orang banyak,tiba-tiba adatiga orang yangdatang. Yang dua orang terus menghadap kepada Rasululah s.a.w. sedang yang seorang lagi lalu pergi. Kedua orang itu berdiri di depan Rasulullah s.a.w. Adapun yang seorang, setelah ia melihat ada tempat yang longgar dalam himpunan majlis itu, lalu terus duduk di situ, sedang yang satu lagi duduk di belakang orang banyak, sedangkan orang ketiga terus menyingkir dan pergi. Setelah Rasulullah s.a.w. selesai - dalam mengamat-amati tiga orang tadi - lalu bersabda: "Tidakkah engkau semua suka kalau saya memberitahukan perihal tiga orang ini? Adapun yang seorang -yang melihat ada tempat longgar terus duduk di situ, maka ia menempatkan dirinya kepada Allah, kemudian Allah memberikan tempat padanya. Adapun yang lainnya - yang duduk di belakang orang banyak, ia adalah malu - untuk berdesak-desakan dan sikap ini terpuji, maka Allah pun malu padanya, sedangkan yang seorang lagi -yang terus menyingkir, ia memalingkan din, maka Allah juga berpaling dari orang itu." (Muttafaq 'alaih)

1447. Dari Abu Said al-Khudri r.a., katanya: "Mu'awiyah r.a. keluar menuju suatu golongan yang berhimpun dalam masjid, lalu ia berkata: "Apakah yang menyebabkan engkau semua duduk ini?" Orang-orangmenjawab: "Kita duduk untuk berzikir kepada Allah." la berkata lagi: "Apakah, demi Allah, tidak ada yang menyebabkan engkau semua duduk ini melainkan karena berzikir kepada Allah saja?" Mereka menjawab: "Ya, tidak ada yang menyebabkan kita semua duduk ini, kecuali untuk itu." Mu'awiyah lalu berkata: "Sebenarnya saya bukannya meminta sumpah dari engkau semua itu karena sesuatu dugaan yang meragukan terhadap dirimu semua dan tiada seorangpun yang sebagaimana kedudukan saya ini dari Rasulullah s.a.w. yang lebih sedikit Hadisnya daripada saya sendiri -karena sangat berhati-hatinya meriwayatkan Hadis. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu ketika keluar menuju suatu golongan yang berhimpun dari kalangan sahabat-sahabatnya, lalu beliau s.a.w. bersabda: "Apakah yang menyebabkan engkau semua duduk ini?" Para sahabat menjawab: "Kita duduk untuk berzikir kepada Allah, juga memuji padaNya karena telah menunjukkan kita semua kepada Agama Islam dan mengaruniakan kenikmatan Islam itu pada kita." Beliau s.a.w. bersabda lagi: "Apakah, demi Allah, tidak menyebabkan engkau semua duduk ini melainkan karena itu?" Sesungguhnya saya bukannya meminta sumpah dari engkau semua itu karena sesuatu dugaan yang meragukan terhadap dirimu semua, tetapi Jibril datang padaku dan memberitahukan bahwasanya Allah merasa bangga dengan engkau semua itu kepada malaikat - yakni kebanggaanNya itu ditunjukkan kepada para malaikat." (Riwayat Muslim)

Cabang iman Yg Ke-77(Mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri)

================================

Cabang iman Yg Ke-77(Mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri)

 ================================
Cabang iman Yg Ke-77 disebutkan dalam bait syair:
وَاحْبُبْ لِنَاسٍ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ * حَتَّى تَكُوْنَ بِجَنَّةٍ تَتَنَــعَّمُ
Cintailah manusia seperti engkau mencintai dirimu sehingga engkau menjadi orang yang bernikmat-nikmat dengan surga.
================================

Mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri

Rasulullah saw bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ . رواه البخارى ومسلم
Tidak beriman salah seorang dari kamu sekalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.
Imam as-Suhaymi dalam menafsiri hadits di atas mengatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia mencintai untuk setiap saudara, meskipun kafir, tanpa mengistimewakan kecintaannya kepada seseorang melebihi orang lain, apa yang dicintai untuk dirinya sendiri, seperti ketaatan dan kesenangan-kesenangan dunia yang mubah. Artinya, hendaklah engkau berbuat apa saja untuk seseorang seperti engkau menyukai seseorang berbuat apa saja untukmu. Engkau memperlakukan ia dengan perlakuan yang engkau sukai agar ia memperlakukan engkau. Engkau menasihati dia seperti engkau menasihati dirimu sendiri. Engkau menghukum ia dengan hukum yang engkau sukai agar ia menghukum engkau. Engkau tidak membalas perbuatannya yang menyakitimu. Engkau tidak mengurangi kehormatannya. Jika engkau melihat ia melakukan kebaikan, hendaklah kebaikannya engkau tampakkan. Namun jika engkau melihat ia melakukan hal jelek, engkau tutupi.
Rasulullah saw bersabda:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِى الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
Para penyayang akan disayangi oleh Dzat Yang Maha Penyayang. Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya siapa saja yang ada di langit akan menyayangi kamu.
Diriwayatkan dari Mujahid dan Salman ra dari Nabi Muhammad saw bahwa sesungguhnya beliau bersabda:
مَنْ حَفِظَ عَلَى اُمَّتِى هَذِهِ اْلاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَحَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى مَعَ الاَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ . فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اَيُّ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا؟ قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى . وَتَشْهَدَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ . وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ بِإِسْبَاغِ الْوُضُوْءِ لِوَقْتِهَا بِتَمَامِ رُكُوْعِهَا وَسُجُوْدِهَا . وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ بِحَقِّهَا . وَتَصُوْمَ شَهْرَ رَمَضَانَ . وَتَحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً . وَتُصَلِّيَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَهِيَ سُنَّتِى ، وَثَلاَثَ رَكَعَاتٍ وِتْرًا لاَ تَتْرُكْهَا . وَلاَ تُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا . وَلاَ تَعْصِ وَالِدَيْكَ . وَلاَ تَأْكُلْ مَالَ الْيَتِيْمِ . وَلاَ تَأْكُلِ الرِّبَا . وَلاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ . وَلاَ تَحْلِفْ بِاللهِ كَاذِبًا . وَلاَ تَشْهَدْ شَهَادَةَ الزُّوْرِ عَلَى اَحَدٍ قَرِيْبٍ اَوْ بَعِيْدٍ . وَلاَ تَعْمَلْ بِالْهَوَى . وَلاَ تَغْتَبْ اَخَاكَ . وَلاَ تَقَعْ فِيْهِ مِنْ خَلْفِهِ وَقُدَامِهِ . وَلاَ تَقْذِفِ الْمُحْصَنَةَ . وَلاَ تَقُلْ ِلأَخِيْكَ : يَا مُرَآئِى ، فَتَحْبَطَ عَمَلَكَ . وَلاَ تَلْعَبْ وَلاَ تَلْهُ مَعَ اللاَّهِيْنَ . وَلاَ تَقُلْ لِلْقَصِيْرِ : يَا قَصِيْرُ ، تُرِيْدُ بِذَلِكَ عَيْبَهُ . وَلاَ تَسْخَرْ مِنْ اَحَدٍ مِنَ النَّاسِ . وَلاَ تَأْمَنْ مِنْ عِقَابِ اللهِ تَعَالَى . وَلاَ تَمْشِ بِالنَّمِيْمَةِ فِيْمَا بَيْنَ الإِخْوَانِ . وَتَشْكُرَ ِللهِ عَلَى كُلِّ نِعْمَةٍ الَّتِى اَنْعَمَ بِهَا عَلَيْكَ . وَتَصْبِرَ عِنْدَ الْبَلاَءِ وَالْمُصِيْبَةِ . وَلاَ تَقْنُطْ مِنْ رَّحْمَةِ اللهِ . وَتَعْلَمَ اَنَّ مَا اَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَاَنَّ مَا اَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ . وَلاَ تَطْلُبْ سُخْطَ الرَّبِّ بِرِضَا الْمَخْلُوْقِيْنَ . وَلاَ تُؤْثِرِ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ . وَاِذَا سَأَلَكَ اَخُوْكَ الْمُسْلِمُ مِمَّا عِنْدَكَ فَلاَ تَبْخَلْ عَلَيْهِ . وَانْظُرْ فِى اَمْرِ دِيْنِكَ اِلَى مَنْ فَوْقَكَ وَفِى اَمْرِ دُنْيَاكَ اِلَى مَنْ هُوَ دُوْنَكَ . وَلاَ تَكْذِبْ . وَلاَ تُخَالِطِ السُّلْطَانَ . وَدَعِ الْبَاطِلَ وَلاَ تَأْخُذْ بِهِ . وَاِذَا سَمِعْتَ حَقًّا فَلاَ تَكْتُمْهَ . وَاَدِّبْ اَهْلَكَ وَوَلَدَكَ بِمَا يَنْفَعُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَيُقَرِّبُهُمْ اِلَى اللهِ ، وَأَحْسِنْ اِلَى جِيْرَانِكَ وَلاَ تَقْطَعْ اَقَارِبَكَ وَذَا رَحِمِكَ وَصِلْهُمْ . وَلاَ تَلْعَنْ اَحَدًا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى . وَاَكْثِرْ التَّسْبِيْحَ والتَّهْلِيْلَ وَالتَّحْمِيْدَ وَالتَّكْبِيْرَ وَلاَ تَدَعْ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ عَلَى كُلِّ حَالٍ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ جُنُبًا ، وَلاَ تَدَعْ حُضُوْرَ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَاتِ وَالْعِيْدَيْنِ . وَانْظُرْ كُلَّ مَا لَمْ تَرْضَ اَنْ يُقَالَ لَكَ وَيُصْنَعَ بِكَ ، فَلاَ تَرْضَ بِهِ وَلاَ تَصْنَعْهُ بِهِ . بَلْ قَالَ سَلْمَانُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ : قُلْتُ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ، مَا ثَوَابُ هذِهِ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا؟ قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : وَالَّذِىِ بَعَثَنِى بِالْحَقِّ نَبِيًّا اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الاَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ . وَمَنْ تَعَلَّمَ هذِهِ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا وَعَلَّمَهَا النَّاسَ كَانَ ذلِكَ خَيْرًا مِنَ اَنْ يُعْطَى الدُّنِيَا وَمَا فِيْهَا
Barangsiapa yang mengutipkan 40 berita ini kepada umatku, maka ia akan masuk surga dan Allah akan mengumpulkannya bersama para nabi dan ulama pada hari kiamat! Kami (para sahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, 40 berita yang manakah itu?" Rasulullah saw menjelaskan:
  1. Hendaklah engkau beriman kepada Allah, hari kiamat, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, kebangkitan sesudah mati, dan takdir baik dan buruk dari Allah Ta'ala.
  2. Engkau mengakui bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.
  3. Engkau mendirikan salat dengan menyempurnakan wudlu pada waktunya, dengan menyempurnakan ruku' dan sujudnya.
  4. Engkau menunaikan zakat dengan haknya.
  5. Engkau berpuasa pada bulan Ramadlan.
  6. Engkau pergi haji ke Baitullah jika mampu.
  7. Engkau salat duabelas rakaat sehari semalam. Salat duabelas rakaat adalah sunnahku (menurut riwayat Imam an-Nasai, Ummu Habibah, maksudnya adalah salat rawatib, yaitu: 4 rakaat sebelum salat fardlu dhuhur; 2 rakaat sesudah salat fardlu dhuhur; 2 rakaat sebelum salat fardlu asar; 2 rakaat sesudah salat fardlu maghrib; dan 2 rakaat sebelum salat fardlu isyak). Janganlah engkau tinggalkan salat witir tiga rakaat.
  8. Jangan engkau sekutukan Allah dengan sesuatu.
  9. Jangan engkau durhakai kedua orang tuamu.
  10. Jangan engkau makan harta anak yatim.
  11. Jangan engkau makan harta riba.
  12. Jangan engkau minum arak.
  13. Jangan engkau bersumpah atas nama Allah dengan dusta.
  14. Jangan engkau menjadi saksi palsu terhadap seseorang, baik kerabat dekat maupun jauh.
  15. Jangan engkau berbuat karena menuruti hawa nafsu.
  16. Jangan engkau mengghibah saudaramu.
  17. Jangan engkau terjatuh dalam perbuatan ghibah dari belakang maupun dari muka saudaramu.
  18. Jangan engkau menuduh zina perempuan yang baik-baik.
  19. Jangan engkau mengatakan kepada saudaramu: "Hai orang yang riya", agar engkau tidak menghapus amalmu sendiri.
  20. Jangan engkau bermain dan berbuat sia-sia bersama orang-orang yang berbuat lalai.
  21. Jangan engkau katakan kepada orang yang pendek: "Hai si pendek", dengan maksud mencelanya.
  22. Jangan engkau olok-olok seseorang.
  23. Jangan engkau merasa aman dari siksa Allah Ta'ala.
  24. Jangan engkau adu domba di antara para saudara.
  25. Hendaklah engkau bersyukur pada Allah atas tiap nikmat yang telah diberikan kepadamu.
  26. Hendaklah engkau bersabar pada waktu tertimpa bala' dan cobaan.
  27. Jangan engkau berputus asa terhadap rahmat Allah.
  28. Hendaklah engkau mengetahui bahwa musibah yang menimpamu tidak mungkin dapat terlepas darimu dan bahwa sesuatu yang tidak menimpamu tidak mungkin dapat mengenai kamu.
  29. Jangan engkau cari kemurkaan Allah lantaran mencari kerelaan makhluk.
  30. Jangan engkau pentingkan dunia dari pada akhirat.
  31. Jika saudaramu meminta sesuatu yang ada padamu, janganlah engkau bakhil kepadanya.
  32. Bandingkanlah urusan agamamu dengan orang yang di atasmu, dan dalam urusan duniamu dengan orang yang di bawahmu.
  33. Jangan engkau berdusta.
  34. Jangan engkau bergaul dengan penguasa.
  35. Tinggalkan perkara yang batal dan jangan engkau mengambilnya.
  36. Jika engkau mendengar kebenaran, jangan engkau sembunyikan.
  37. Didiklah keluarga dan anak-anakmu dengan segala sesuatu bermanfaat bagi mereka di sisi Allah dan dapat mendekatkan didi kepada Allah, berbuat baiklah kepada tetangga dan jangan putuskan hubungan kerabat dan famili, tapi sambungkan hubungan dengan mereka.
  38. Jangan engkau laknat makhluk Allah Ta'ala.
  39. Perbanyaklah membaca: tasbih, tahlil, tahmid, takbir, dan jangan engkau tinggalkan membaca al-Quran pada setiap keadaan, kecuali jika kamu sedang junub; jangan engkau tinggalkan salat Jumat, salat berjamaah, dan salat hari raya.
  40. Perhatikanlah segala yang tidak engkau relakan untuk diucapkan dan dilakukan kepadamu, maka jangan engkau relakan untuk dilakukan kepada seseorang dan jangan engkau lakukan.
Sahabat Salman ra bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah pahala dari 40 berita ini?" Rasulullah saw bersabda: "Demi Dzat yang telah mengutusku sebagai nabi dengan hak, sungguh Allah Ta'ala akan mengumpulkan dia pada hari kiamat bersama para nabi dan para ulama. Dan Barangsiapa yang mempelajari 40 berita ini dan mengajarkannya yang lain, niscaya hal itu lebih baik dari pada ia diberi dunia dan isinya.
Syeikh Abdul Mun'im menambah satu bait syair mengenai salawat sebagai penutup
ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ × وَاْلآلِ وَالصَّحْبِ الَّذِيْنَ يُحَشَّمُ
Kemudian kesejahteraan semoga tetap atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat yang seperti pelayan, keluarga, dan kerabat di sisi Nabi saw.

Cabang iman Yang Ke-75 s/d 76(Menghormat orang tua dan menyayangi anak muda, Mendamaikan pertikaian di antara orang muslim bila dijumpai caranya)

==========================

Cabang iman Yang Ke-75 s/d 76(Menghormat orang tua dan menyayangi anak muda, Mendamaikan pertikaian di antara orang muslim bila dijumpai caranya)

===============================
Cabang iman Yang Ke-75 s/d 76 disebutkan dalam bait syair:
وَقِّرْ كَبِيْرًا وَارْحَمَنَّ صَغِيْرَنَا * أَصْلِحْ لِهَجْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَتُكْرَمُ
Hormatilah orang tua dan sayangilah anak muda; damaikan perselisihan di antara orang-orang ========================

Menghormat orang tua dan menyayangi anak muda

Rasulullah saw bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا وَلَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَلَمْ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Bukanlah golongan kami orang muda yang tidak menghormati orang tua, orang tua yang tidak menyayangi anak muda, dan orang yang tidak mengetahui hak orang alim.
Rasulullah saw bersabda:
مِنْ اِجْلاَلِ اللهِ اِكْرَامُ ذِى الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ
Termasuk mengagungkan Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban yang beragama Islam.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda:
اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْظُرُ اِلَى وَجْهِ الشَّيْخِ صَبَاحًا وَمَسَآءً وَيَقُوْلُ : يَا عَبْدِى قَدْ كَبُرَ سِنُّكَ وَرَقَّ جِلْدُكَ وَدَقَّ عَظْمُكَ وَاقْتَرَبَ اَجَلُكَ وَحَانَ قُدُوْمُكَ اِلَيَّ فَاسْتَحِ مِنِّى فَاَنَا اَسْتَحْيِى مِنْ شَيْبَتِكَ اَنْ اُعَذِّبَكَ فِى النَّارِ
Sesungguhnya Allah Ta'ala memandang ke wajah orang yang sudah tua pada waktu pagi dan petang seraya berfirman: "Wahai hamba-Ku, umurmu sudah tua, kulitmu sudah berkeriput, tulangmu sudah rapuh, ajalmu sudah dekat, dan sudah tiba saatnya engkau menghadap kepada-Ku. Oleh karena itu malulah engkau kepada-Ku, niscaya Aku malu menyiksa engkau dalam neraka karena ubanmu".
Diceriterakan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra pergi ke masjid dengan bergegas untuk melakukan salat berjamaah subuh. Dalam perjalanannya, beliau bertemu seorang tua yang berjalan di depannya dengan tenang dan anggun di gang jalan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra tidak berani mendahului karena memuliakan dan menghormati orang tua tersebut sebab ubannya, sampai waktu terbit matahari tiba. Ketika orang tua tersebut dekat pintu masjid, ia tidak masuk ke dalam masjid, maka tahulah Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra bahwa orang tua tersebut adalah orang Nasrani.
Kemudian Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra masuk ke dalam masjid dan mendapatkan Rasulullah saw dalam keadaan ruku'. Setelah Rasulullah saw selesai melakukan salat, para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, mengapa Rasulullah memanjangkan ruku' dalam salat ini? Rasulullah belum pernah melakukan seperti ini!"
Rasulullah saw bersabda: "Pada waktu saya ruku' dan membaca:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung.
Sebagaimana wiridanku, dan aku ingin mengangkat kepalaku, datanglah Malaikat Jibril dan meletakkan sayapnya di atas punggungku dan memegang saya dalam waktu yang lama. Tatkala Jibril mengangkat sayapnya, maka aku mengangkat kepalaku." Para sahabat berkata: "Mengapa Malaikat Jibril melakukan ini?" Rasulullah saw bersabda: "Aku tidak bertanya tentang hal tersebut!"
Kemudian Jibril datang dan berkata: "Wahai Muhammad, sesungguhnya Ali bin Abi Thalib ra bergegas untuk melakukan salat berjamaah; kemudian di jalan bertemu dengan seorang Nasrani, sedangkan ia tidak tahu bahwa orang tersebut adalah orang Nasrani. Ia menghormatinya karena ubannya dan tidak berani mendahuluinya. Kemudian Allah swt memerintahkan kepadaku untuk memegangi engkau dalam keadaan ruku', agar Ali dapat mengikuti jamaah salat subuh besertamu." Allah memerintahkan kepada Malaikat Mikail untuk memegangi matahari dengan sayapnya, sehingga matahari tidak terbit karena penghormatan Ali ra kepada orang tua.
Rasulullah saw bersabda:
لَيْسَ الرَّحِيْمُ الَّذِى يَرْحَمُ نَفْسَهُ وَاَهْلَهُ خَآصَّةً وَلكِنَّ الرَّحِيْمَ الَّذِى يَرْحَمُ الْمُسْلِمِيْنَ
Penyayang bukanlah orang yang menyayangi dirinya dan keluarganya secara khusus, tetapi penyayang adalah orang yang menyayangi orang-orang muslim.
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ مَسَحَ عَلَى رَأْسِ يَتِيْمٍ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَمُدُّ عَلَيْهَا يَدُهُ نُوْرٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim, maka setiap rambut yang dijangkau oleh tangannya akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.
Hikayat:
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra menceriterakan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad saw seraya bermohon: "Wahai Rasulullah, saya telah berbuat maksiat. Oleh karena itu sucikanlah diriku!"
Rasulullah saw bersabda: "Apa dosamu?"
Ia berkata: "Aku malu mengucapkannya!"
Rasulullah saw bersabda: "Mengapa engkau malu kepadaku untuk memberitahukan kepadaku tentang dosamu dan tidak malu kepada Allah, sedangkan Allah melihatmu? Berdirilah dan pergilah engkau dariku, agar api tidak turun kepada kita!"
Laki-laki tersebut pergi dari sisi Rasulullah dalam keadaan menyesal, putus asa, dan menangis.
Kemudian Malaikat Jibril datang dan berkata: "Wahai Muhammad, mengapa engkau membuat putus asa orang berbuat maksiat, sedangkan ia mempunyai tebusan bagi dosanya meskipun dosanya banyak?"
Rasulullah bersabda: "Apakah tebusannya?"
Jibril menjawab: "Ia mempunyai anak laki-laki yang masih kecil. Setiap ia masuk ke dalam rumahnya dan anaknya menjumpainya, ia memberinya sesuatu makanan atau memberikan sesuatu yang dapat menggembirakannya. Jika anak tersebut bergembira, niscaya kegembiraannya menjadi tebusan baginya."

Mendamaikan pertikaian di antara orang muslim bila dijumpai caranya

Dalam surat al-Hujurat ayat 10 Allah swt berfirman:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Dalam surat an-Nisa ayat 85 Allah swt berfirman:
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَّهُ نَصِيْبٌ مِنْهَا ... الآية
Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya ..."
Rasulullah saw bersabda:
اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِاَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصَّلاَةِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ ؟ قَالُوْا : بَلَى . قَالَ : اِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ
Perhatian, aku akan mengkhabarkan kepada kamu sekalian tentang amal yang lebih utama dari pada derajat salat, puasa, dan sedekah!" Para sahabat berkata: "Baik!" Beliau bersabda: "Mendamaikan dua orang yang berselisih!"
Rasulullah saw bersabda:
اَفْضَلُ الصَّدَقَةِ اِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ
Sedekah yang paling utama adalah mendamaikan dua orang yang berseteru.
Rasulullah saw bersabda:
لَيْسَ بِكَذَّابٍ مَنْ اَصْلَحَ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَقَالَ خَيْرًا
Orang yang mendamaikan di antara dua orang dan dia berkata baik bukanlah pendusta.
Rasulullah saw bersabda:
اَفْضَلُ الصَّدَقَةِ اَنْ تُعِيْنَ بِجَاهِكَ مَنْ لاَ جَاهَ لَهُ
Sedekah yang paling utama ialah apabila Anda membantu dengan pangkat Anda kepada orang yang sama sekali tidak mempunyai pangkat.
Ketahuilah bahwa orang muslim yang mendiamkan (tidak mengajak bicara) orang muslim lainnya melebihi tiga hari, meskipun ia sedang marah kepadanya adalah haram. Jika keduanya sedang berhadap-hadapan dan tidak mau berbicara kepadanya, meskipun dengan memberi salam, kecuali karena udzur syara', seperti keadaan orang yang didiamkan adalah orang yang fasik atau ahli bid'ah, maka hukumnya tidak haram; meskipun mendiamkannya tidak memberi faedah kepada orang yang didiamkan, seperti meninggalkan perbuatan fasiknya.
Benar, andaikata seseorang mengetahui bahwa mendiamkannya akan membawa orang yang didiamkan bertambah fasik, maka dilarang mendiamkannya. Andai tidak berhadapan, maka hukumnya tidak haram meskipun bertahun-tahun, sebagaimana keterangan Imam al-Mudabighi.
Rasulullah saw bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ اَنْ يَهْجُرَ اَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ ؛ فَمَنْ هَجَرَهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ
Tidak halal bagi seseorang muslim untuk mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa yang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, kemudian mati, maka ia masuk neraka.

Cabang iman Yang Ke-70 s/d 74(Sabar dalam keta'atan, Zuhud, Cemburu dan tidak membiarkan isteri bercumbu rayu dengan laki-laki lain, Berpaling dari omongan yang tidak berguna, Dermawan)

===========================

Cabang iman Yang Ke-70 s/d 74(Sabar dalam keta'atan, Zuhud, Cemburu dan tidak membiarkan isteri bercumbu rayu dengan laki-laki lain, Berpaling dari omongan yang tidak berguna, Dermawan)

 --------------------------------------------------
Cabang iman Yang Ke-70 s/d 74 disebutkan dalam bait syair:
وَاصْبِرْ تَزَهَّدْ وَائْتِيَنَّ بِغِيْرَةٍ * اَعْرِضْ عَنْ الْمَلْغَاةِ جُدْ تَتَكَرَّمُ
Bersabarlah, berzuhudlah, dan benar-benarlah engkau cemburu; berpalinglah dari hal yang tidak berguna, berbuatlah dermawan, niscaya engkau menjadi orang mulia.
===================================

Sabar dalam ketaatan hingga selesai melaksanakannya

Selain kesabaran dalam melakukan ketaatan sampai ketaatan tersebut terselesaikan, kesabaran juga diperlukan dalam beberapa hal seperti:
  • bersabar mengalami musibah duniawi, sekira hatinya tidak marah terhadap musibah tersebut,
  • bersabar dalam menjauhi kemaksiatan, sehingga tidak jatuh dalam kemaksiatan tersebut, dan
  • bersabar terhadap menghadapi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan tidak membalas kejahatannya, dan hendaklah hatinya rela serta memaafkan kesalahan tersebut.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumiddin berkata bahwa sabar itu ada dua macam:
  1. Kesabaran jasmani, seperti menahan penderitaan yang menimpa badan. Sabar yang demikian terkadang dengan amal perbuatan, seperti terus menerus melakukan pekerjaan ibadah yang berat dan lainnya, dan terkadang dengan menahan penderitaan, seperti sabar terhadap pukulan yang sangat berat dan penyakit yang parah. Sabar yang demikian adalah terpuji apabila sesuai dengan syariat Islam.
  2. Sabar kejiwaan. Jenis kesabaran kejiwaan dapat dikategorikan menjadi:
  3. Iffah, atau sikap perwira jika berasal dari keinginan perut dan kemaluan;
  4. Sabar, jika berasal dari musibah, kebalikannya adalah "kegelisahan";
  5. Menekan nafsu, jika dalam keadaan kaya, kebalikannya adalah "sombong";
  6. Pemberani, jika dalam keadaan peperangan, kebalikannya adalah "licik";
  7. Penyantun, jika dalam keadaan menahan marah, kebalikannya adalah "marah" dan "menggerutu";
  8. Kelapangan data, jika dalam keadaan yang menggelisahkan, kebalikannya adalah "kegelisahan" dan "kesempitan dada";
  9. Menyimpan rahasia, jika dalam keadaan menyembunyikan omongan dan orang yang melakukannya disebut "penyimpan rahasia";
  10. Zuhud, jika dari hidup yang berlebihan, kebalikannya adalah "tamak" atau "loba";
  11. Qanaah, jika kesabaran tersebut terhadap bagian yang sedikit, kebalikannya adalah "rakus".
Dengan demikian kebanyakan dari akhlak keimanan masuk pada kategori sabar. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda:
اَلصَّبْرُ نِصْفُ الإِيْمَانِ وَالْيَقِيْنُ اَْلإِيْمَانُ كُلُّهُ
Sabar adalah separuh iman, sedangkan keyakinan adalah iman seluruhnya.

Zuhud

Zuhud adalah mencukupkan diri pada kadar keperluan dari hal-hal yang diyakini kehalalannya. Pengertian ini adalah zuhud bagi orang-orang ahli marifat. Adapun zuhud dalam arti meninggalkan yang haram adalah kewajiban umum yang h`rus dilakukan oleh semua orang. Ada yang berpendapat bahwa zuhud adalah membagi-bagikan harta yang sudah dikumpulkan, meninggalkan mencari sesuatu yang sudah hilang, dan mendahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri pada waktu ada makanan. Imam al-Ghazali berkata bahwa zuhud adalah apabila seseorang meninggalkan kesenangan dunia karena pengetahuannya akan kehinaan dunia dibandingkan dengan akhirat yang sangat mahal. Zuhud bukan berarti meninggalkan harta dan mengorbankannya mengikuti jalan kedermawanan dan mengikuti jalan kecenderungan hati, serta mengikuti jalan ketamakan. Karena hal itu semuanya adalah termasuk adat kebiasaan yang baik; dan peribadatan tidak termasuk dalam adat kebiasaan.

Cemburu dan tidak membiarkan isteri bercumbu rayu dengan laki-laki lain

Setiap laki-laki seyogyanya memiliki sifat cemburu pada waktu melihat sesuatu yang menyalahi hukum syara' dan pada waktu terdapat keraguan dalam hatinya. Berbeda dengan sangkaan buruk kepada seseorang tanpa ada keraguan yang dicela oleh agama. Manusia yang paling mulia dan paling tinggi himmahnya adalah orang yang lebih kuat kecemburuannya terhadap nafsunya sendiri, terhadap keistimewaan dirinya dan orang-orang mukmin pada umumnya.
Rasulullah saw bersabda:
اَلْغِيْرَةُ مِنَ الإِيْمَانِ وَالْمِذَاءُ مِنَ النِّفَاقِ . رواه البزار والبيهقي
Cemburu adalah termasuk iman dan membiarkan isteri bercumbu rayu dengan laki-laki lain adalah termasuk kemunafikan. H.R. al-Bazzar dan al-Baihaqi.
Allah swt telah menulis di pintu surga sebagai berikut: "Engkau adalah haram bagi orang yang rela terhadap perbuatan jelek yang dilakukan isterinya". Orang yang rela isterinya berbuat serong tidak dapat masuk surga. Sesungguhnya tujuh langit, tujuh bumi, serta gunung-gunung melaknat orang yang berbuat zina dan orang yang rela isterinya berbuat serong. Laknat tersebut akan diterima jika ia mengetahui dan mendiamkan. Jika suami tidak mengetahui, maka tidak pantas berburuk sangka, meneliti permasalahan yang tidak tampak, dan memeriksa aurat orang lain; karena yang demikian itu dicela oleh syariat Islam.

Berpaling dari omongan yang tidak berguna

Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah berkata yang baik atau diam. H.R. Bukhari dan Muslim.
Maksud hadits di atas ialah Barangsiapa yang beriman dengan iman yang sempurna kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbicara mengenai apa saja yang ada manfaat baginya, seperti mengucapkan kalimat yang benar kepada orang yang dhalim, atau hendaklah ia diam dari omongan yang sama sekali tidak ada manfaat baginya.
Dikisahkan, ada seorang laki-laki berkata kepada orang yang ahli makrifat: "Berilah aku wasiat!" Beliau berkata: "Buatlah sampul bagi agamamu seperti sampul mushaf agar kamu tidak mengotori agamamu!" Laki-laki tersebut bertanya: "Apakah sampul agama itu?" Beliau berkata: "Meninggalkan omongan kecuali omongan yang harus diucapkan; meninggalkan mempergauli manusia kecuali pergaulan yang harus dilakukan; meninggalkan mencari kesenangan dunia kecuali kesenangan yang wajib diambil."
Menurut Imam as-Suhaymi, apabila seseorang dipaksa untuk mengucapkan ucapan yang jelek atau dipaksa diam dari ucapan yang baik, atau takut bencana yang akan menimpa dirinya karena mengucapkan hal yang baik, maka dia diberi udzur dan dimaafkan oleh Allah.

Dermawan

Dermawan adalah membelanjakan harta dalam hal-hal yang dipuji oleh syariat Islam. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa dermawan adalah tengah-tengah antara "menghambur-hamburkan harta" dan "pelit"; antara membuka tangan dan menggenggamnya. Antara membelanjakan harta dan menahannya hendaknya diperkirakan menurut ukuran kewajiban. Hal itu tidak cukup dilakukan dengan anggauta badan saja, selama hatinya tak senang dan menentang terhadap perbuatannya.
Sabda Rasulullah saw dalam hadits riwayat Ibnu Abbas ra:
تَجَافَوْا عَنْ ذَنْبِ السَّخِيِّ فَاِنَّ اللهَ آخِذٌ بِيَدِهِ كُلَّمَا عَثَرَ
Menyingkirlah kamu sekalian dari dosa orang yang dermawan, karena sesungguhnya Allah akan membimbing tangannya setiap kali dia jatuh.
Sahabat Ibnu Mas'ud ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
اَلرِّزْقُ اِلَى مُطْعِمِ الطَّعَامِ اَسْرَعُ مِنَ السِّكِّيْنِ اِلَى ذَرْوَةِ الْبَعِيْرِ ، وَاِنَّ اللهَ تَعَالَى يُبَاهِى بِمُطْعِمِ الطَّعَامِ الْمَلاَئِكَةَ
Rezeki kepada orang yang memberi makan adalah jauh lebih cepat dari pada kecepatan pisau memotong punuk (daging yang menonjol ke atas pada punggung) unta. Dan sesungguhnya Allah Ta'ala membanggakan orang yang memberi makan kepada para malaikat.
Sebagian ulama berkata bahwa sesungguhnya dalam kitab suci yang empat ada lafal-lafal yang sesuai. Keempat kitab tersebut pertama kali diturunkan dalam bahasa Arab, kemudian diterjemahkan oleh Nabi dengan bahasa kaumnya:
  1. Dalam kitab Taurat disebutkan:
    اَلْكَرِيْمُ لاَ يُضَامُ اَبَدًا
    Orang yang dermawan tidak akan ditimpa bahaya selamanya.
  2. Dalam kitab Injil disebutkan:
    اَلْبَخِيْلُ يَأْكُلُ أَمْوَالَهُ الْعِدَا
    Harta orang yang bakhil akan dimakan oleh musuhnya.
  3. Dalam kitab Zabur disebutkan:
    اَلْحَسُوْدُ لاَ يَسُوْدُ أَبَدًا
    Orang yang hasud tidak akan bahagia selamanya.
  4. Dalam al-Qur'an surat al-A'raf ayat 58 Allah swt berfirman:
    وَالَّذِى خَبُثَ لاَ يَخْرُجُ اِلاَّ نَكِدًا
    ... dan tanah yang tidak subur, tanamannya hanya tumbuh merana.
Hikayat
Abdullah bin al-Mubarak berkata bahwa pada suatu waktu ia melakukan ibadah haji. Ia tidur di Hijir Ismail dan bermimpi melihat Rasululllah saw dan beliau bersabda kepadanya: "Jika engkau kembali ke Baghdad, masuklah ke tempat demikian dan demikian. Carilah Pendeta Majusi dan sampaikan salamku kepadanya serta katakan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala meridlainya." Ia terbangun dan berkata:
"لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Tiada daya untuk menyingkir dari kemaksiatan dan tiada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Ini adalah mimpi dari syaithan. Kemudian ia berwudlu, salat, dan melakukan thawaf, sampai mengantuk dan tertidur, lalu ia bermimpi seperti tersebut sampai tiga kali. Setelah ia menyempurnakan ibadah haji dan pulang ke Baghdad, ia menanyakan tempat dan rumah yang disebut dalam mimpi. Di tempat tersebut ia mendapatkan seorang tua, lalu ia terjadi dialog:
Abdullah: Apakah Anda pendeta Majusi?
Pendeta: Ya!
Abdullah: Apakah Anda mempunyai kebaikan di sisi Allah?
Pendeta: Ya, saya mempunyai empat orang anak perempuan dan empat orang anak laki-laki. Keempat orang anak perempuan saya, saya kawinkan dengan empat orang anak laki-laki saya!
Abdullah: Ini haram! Apakah Anda mempunyai amal selain itu?
Pendeta: Ya, saya membuat walimah untuk orang-orang Majusi pada saat saya mengawinkan anak-anak perempuan saya!
Abdullah: Ini haram! Apakah Anda mempunyai amal selain itu?
Pendeta: Ya, saya mempunyai seorang anak perempuan yang paling cantik, tak ada wanita lain yang menandingi kecantikannya; lalu aku kawini sendiri. Pada malam pertama aku mengumpulinya, aku mengadakan pesta perkawinan. Pada waktu itu orang Majusi yang hadir lebih dari 1000 (seribu) orang.
Abdullah: Ini juga haram! Apakah Anda mempunyai amal selain itu?
Pendeta: Ya, pada malam aku menyetubuhi anak perempuanku, datang seorang wanita muslimat dari agama Tuan, yang menggunakan suluh (penerangan) dari lampu saya. Kemudian ia menyalakan lampu dan keluar. Perempuan tersebut memadamkan lampu dan kembali; lalu aku masuk. Perempuan itu melakukan hal tersebut tiga kali, sehingga aku bergumam: "Barangkali wanita ini adalah mata-mata dari pencuri!" Kemudian aku keluar mengikutinya. Tatkala ia masuk ke rumahnya dan menjumpai anak-anak perempuannya, mereka bertanya: "Wahai Ibu, apakah Ibu datang dengan membawa sesuatu bagi kami? Sesungguhnya kami sudah tidak mampu dan sabar menahan lapar!". Perempuan tersebut mencucurkan air mata dan berkata: "Saya malu kepada Tuhan untuk meminta kepada seseorang selain Dia; lebih-lebih dari musuh Allah, yaitu orang Majusi!". Setelah aku mendengar omongannya, aku pulang ke rumah dan mengambil sebuah talam, lalu aku penuhi dengan semua jenis makanan dan aku bawa sendiri ke rumahnya.
Abdullah: Ini adalah suatu kebaikan; dan Anda mendapat kabar gembira.
Kemudian Abdullah bin al-Mubarak memberi kabar gembira kepadanya tentang mimpi pertemuannya dengan Rasulullah saw dan diceriterakan kepadanya isi mimpi tersebut. Setelah mendengar ceritera itu, Pendeta Majusi tersebut mengucapkan dua kalimah syahadat, kemudian dia jatuh tersungkur dan mati. Abdullah bin al-Mubarak memandikannya, mengkafani, melakukan salat janazah atasnya, dan menguburkannya. Ia berkata: "Wahai para hamba Allah, lakukanlah perbuatan dermawan kepada sesama makhluk Allah, karena kedermawanan itu dapat mengubah para musuh menjadi kekasih."

Cabang iman Yang Ke-67 s/d 69(Memuliakan Tetangga, Memuliakan Tamu, Menutupi 'Aurot atau Cacat Orang Mukmin)

==============================

Cabang iman Yang Ke-67 s/d 69(Memuliakan Tetangga, Memuliakan Tamu, Menutupi 'Aurot atau Cacat Orang Mukmin)

------------------------------------------
Cabang iman Yang Ke-67 s/d 69 disebutkan dalam bait syair:
اَكْرِمِ لِجَارٍ ثُمَّ ضَيْفٍ وَاسْتُرَنْ *عَوْرَاتِ اَهْلِ الدِّيْنِ تَاْمَنْ تَغْنَمُ
Muliakan tetangga dan tamu; dan tutuplah aurat-aurat ahli agama, niscaya engkau akan aman lagi beruntung.
==============================

Memuliakan tetangga

Memuliakan tetangga maksudnya adalah berbuat baik kepada tetangga dengan jalan: menampakkan wajah yang cerah dan berseri-seri, memberi makanan kepadanya, dan menanggung perbuatan tidak baik yang dilakukan olehnya. Jika tidak mampu berbuat demikian, hendaklah menahan diri untuk tidak menyakiti tetangga.
Rasulullah saw bersabda:
اَحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا
Berbuat baiklah dalam mempergauli orang yang menjadi tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang muslim.
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia memuliakan tetangganya.
Dalam hadits yang lain disebutkan:
مَنْ اَرَادَ اَنْ يُحِبَّهُ اللهُ فَعَلَيْهِ بِصِدْقِ الْحَدِيْثِ وَاَدَاءِ اْلاَمَانَةِ وَاَنْ لاَ يُؤْذِيَ جَارَهُ
Barangsiapa yang ingin dicintai oleh Allah ia wajib berkata benar, menunaikan amanat, dan tidak menyakiti tetangganya.
Sabda Rasulullah saw:
اِنَّ الْجَارَ الْفَقِيْرَ يَتَعَلَّقُ بِجَارِهِ الْغَنِيِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَقُوْلُ يَا رَبِّ سَلْ هَذَا لِمَ مَنَعَنِى مَعْرُوْفَهُ
Sesungguhnya tetangga yang fakir akan bergantung kepada tetangganya yang kaya pada hari kiamat seraya berkata: "Wahai Tuhanku, tanyailah tetanggaku ini, mengapa ia mencegah aku terhadap kebaikannya."
Menurut Imam as-Suhaymi, kriteria tetangga ialah orang yang jarak antara rumah Anda dengan rumahnya kurang dari 40 rumah dari berbagai arah.

Memuliakan tamu

Memuliakan tamu artinya berbuat baik dalam menyambut tamu yang datang dengan muka berseri-seri dan ucapan yang bagus, cepat-cepat memberi jamuan yang ada dan melayaninya sendiri, sebagaimana Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz melayani tamu dengan pribadi beliau sendiri. Kewajiban memberi makan tamu adalah selama tiga hari menurut kadar kemampuannya.
Seyogyanya seseorang tidak perlu memaksakan diri untuk memberi jamuan kepada tamu dengan mengusahakan sesuatu yang tidak dimiliki. Ia cukup menjamu tamu dengan sesuatu yang sudah ada dengan ukuran kemampuannya, tidak perlu dengan upaya meminjam kepada orang lain atau membeli makanan dengan berhutang, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw:
اَنَا وَالأَتْقِيَآءُ مِنْ اُمَّتِى بُرَءَآءُ مِنَ التَّكَلُّفِ
Saya dan umatku yang bertakwa adalah orang-orang yang membebaskan diri dari memaksakan diri.
Rasulullah saw bersabda:
لاَ تَتَكَلَّفُوْا لِلضَّيْفِ فَتَبْغَضُوْهُ فَاِنَّهُ مَنْ اَبْغَضَ الضَّيْفَ فَقَدْ اَبْغَضَ اللهَ وَمَنْ اَبْغَضَ اللهَ اَبْغَضَهُ اللهُ
Janganlah kamu sekalian memaksakan diri untuk menyuguh tamu, sehingga kamu benci kedatangan tamu. Karena sesungguhnya barangsiapa yang membenci tamu, maka ia telah membenci Allah. Dan Barangsiapa yang membenci Allah, niscaya Allah akan membenci dia.
Sahabat Salman al-Farisi berkata bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan kepadanya untuk
  1. tidak memaksakan diri dalam memberi jamuan kepada tamu dengan sesuatu yang tidak dimiliki,
  2. memberikan suguhan kepada tamu dengan sesuatu yang sudah ada padanya,
  3. tidak boleh membedakan antara tamu kaya atau fakir dalam memberikan suguhan; karena tamu yang masuk ke dalam rumah adalah membawa rahmat dan keluar bersama dosa pemilik rumah.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ يَأْتِيْهِ ضَيْفٌ فَيَنْظُرُ فِى وَجْهِهِ بِبِشَاشَةٍ اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النَّارِ
Seseorang beriman yang kedatangan tamu kemudian memandang muka tamu tersebut dengan wajah berseri-seri, niscaya diharamkan jasadnya masuk neraka oleh Allah.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Darda' dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda:
اِذَا اَكَلَ اَحَدُكُمْ مَعَ الضَّيْفِ فَلْيُلْقِمَهُ بِيَدِهِ . فَاِذَا فَعَلَ ذلِكَ كَتَبَ اللهُ لَهُ عَمَلَ سَنَةٍ صِيَامِ نَهَارِهَا وَقِيَامِ لَيْلِهَا
Apabila salah seorang dari kamu sekalian makan bersama tamu, hendaklah dia menyuapi tamu dengan tangannya. Apabila ia melakukan demikian, maka Allah mencatat baginya amal satu tahun, yang dilakukan puasa siang harinya dan salat pada malam harinya.
Imam Ahmad as-Suhaymi dan Ahmad bin Imad menuturkan bahwa Nabi Ibrahim as apabila ingin makan, beliau berjalan satu sampai dua mil untuk mencari tamu yang diajak makan bersama. Beliau diberi julukan bapak tamu. Beliau ingin membuat jamuan bagi umat Muhammad saw sampai hari kiamat. Lalu Allah swt berfirman kepada beliau: "Sesungguhnya engkau tidak mampu berbuat demikian!" Nabi Ibrahim berdatang sembah: "Wahai Tuhanku, Engkau Maha Mengetahui keadaan hamba dan Maha Kuasa mengabulkan permohonan hamba!" Kemudian Allah mengabulkan permohonannya dan memerintahkan kepada Malaikat Jibril as untuk memberikan segenggam kapur surga kepada Nabi Ibrahim as, serta memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk naik ke atas gunung Abi Qubaisy dan meniupkan kapur tersebut ke udara. Nabi Ibrahim as melakukan petunjuk Malaikat Jibril, dan tersebarlah kapur tersebut di muka bumi. Setiap tempat yang kejatuhan sebagian dari kapur tersebut airnya berubah menjadi asin karena mengandung garam sampai hari kiamat. Dengan demikian semua garam yang ada di bumi ini adalah suguhan dari Nabi Ibrahim as.
Adapun tatakrama dari orang yang menjadi tamu adalah cepat-cepat memenuhi keinginan tuan rumah dalam beberapa hal antara lain makan makanan dan tidak beralasan sudah kenyang dan makan semampunya.

Menutupi aurat atau cacat orang mukmin

Abu Ali ad-Daqqaq menceriterakan bahwa ada seorang wanita datang kepada Syeikh Hatim bin Alwan al-Asham, semoga Allah mensucikan rahasianya, untuk bertanya tentang sesuatu masalah. Wanita tersebut kentut di hadapan Syeikh Hatim, sehingga muka wanita tersebut menjadi pucat karena malu. Melihat hal tersebut, Syeikh Hatim berkata kepada wanita tersebut: "Keraskanlah suaramu!" Dengan ucapan tersebut Syeikh Hatim memperlihatkan kepada wanita tersebut bahwa beliau tuli; sehingga wanita tersebut senang hatinya dan berpendapat bahwa Syeikh Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Itulah sebabnya Syeikh Hatim terkenal dengan nama al-Asham (orang yang tuli).
Syeikh Ibnul 'Imad mengatakan bahwa menyebutkan kesalahan orang lain karena tujuan yang benar menurut syara', yang tujuan tersebut tidak dapat terpenuhi kecuali dengan menyebutkan kesalahan tersebut adalah diperbolehkan dalam 15 (limabelas) hal:
  1. Menunjukkan kepada ucapan yang benar. Misalnya Anda mendengar seseorang mengucapkan ucapan yang mungkar; maka seyogyanya Anda mengatakan kepadanya: "Anda telah berkata demikian dan demikian. Ucapan itu tidak sesuai; yang benar adalah demikian!"
  2. Memberi nasihat kepada orang yang meminta petunjuk dalam persoalan nikah, menitipkan amanat, atau lainnya. Anda wajib memberitahukan kepadanya keadaan yang sebenarnya dari orang yang dinikahkan atau dititipi amanat, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw:
    اِذَا اسْتَنْصَحَ اَحَدُكُمْ اَخَاهُ فَلْيَنْصَحْ لَهُ
    Jika salah seorang dari kamu sekalian meminta nasihat kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberi nasihat kepadanya.
  3. Mengingatkan orang alim yang salah kepada pengikutnya. Misalnya, apabila ada seseorang bertanya kepada Anda tentang sesuatu masalah, kemudian ia mengatakan: "Kyai saya mengatakan demikian dan demikian." Anda boleh mengatakan: "Kyai saudara salah!" Termasuk juga ucapan para pengarang kitab dalam kitab-kitab mereka: "Si Fulan berkata demikian. Beliau adalah salah!" dan lain sebagainya. Hal itu diperbolehkan jika dimaksudkan untuk menjelaskan kesalahannya agar tidak diikuti. Jika tidak demikian, maka hukumnya haram.
  4. Minta tolong untuk mengubah kemungkaran, seperti ucapan Anda kepada orang yang Anda harapkan kemampuannya untuk menghapus kemungkaran: "Si Fulan telah melakukan demikian, maka tolonglah saya untuk mencegahnya." Hal ini diperbolehkan dengan syarat apabila maksudnya adalah untuk meminta bantuan guna melenyapkan kemungkaran. Jika tidak demikian maksudnya, hukumnya haram.
  5. Mengenal identitas seseorang, seperti ucapan Anda: "Fulan si juling, atau lainnya. Hal ini diperbolehkan apabila identitas si Fulan tidak dikenal kecuali dengan menyebut cacatnya, karena kebetulan orang yang bernama Fulan banyak. Jika identitas si Fulan dapat dikenal tanpa menyebutkan cacatnya, maka lebih utama tidak usah menyebutkan cacatnya. Kebolehan menyebutkan cacat si Fulan disyaratkan dengan maksud untuk mengenal. Jika maksudnya untuk mencela, hukumnya haram.
  6. Menjaga kerusakan, seperti ucapan Anda kepada saksi yang tidak adil: "Orang ini tidak sah untuk menjadi saksi, karena ia telah melakukan demikian dan demikian."
  7. Meminta fatwa, seperti ucapan Anda kepada orang yang dimintai fatwa: "Ayahku, suamiku, atau saudaraku telah berbuat dhalim kepadaku. Bagaimanakah jalan keluar untuk menyelamatkan diri dari kedhaliman tersebut?" Jika dapat menggunakan kata sindiran lebih baik, misalnya: "Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang dianiaya oleh bapaknya, suaminya, atau saudaranya?" Namun apabila menyebutkan dengan jelas, diperbolehkan dengan alasan ini, sebagaimana pendapat Imam al-Ghazali.
  8. Mencegah perbuatan fasik seseorang yang tidak menutupi perbuatan cacatnya, misal orang yang menceriterakan perbuatan zina dan dosa-dosa besar yang dilakukan. Anda boleh menuturkan perbuatan fasik yang dilakukan dan bukan perbuatan cacat lainnya, dengan syarat apabila Anda bermaksud agar orang yang Anda beritahu mau menyampaikan kepadanya, sehingga ia berhenti dari perbuatannya yang fasik. Kebolehan menuturkan cacat seseorang di sini adalah jika ia menceriterakan perbuatan fasik yang telah dilakukan dengan perasaan bangga. Akan tetapi jika ia menceriterakan dengan perasaan menyesal dan taubat, maka haram menuturkannya karena sama dengan mengghibah. Jika orang yang menampakkan perbuatan fasik adalah orang alim, maka haram mengghibahnya secara mutlak. Karena jika orang awam mendengar perbuatan fasik si alim tersebut, maka dosa-dosa besar tersebut bagi orang awam menjadi remeh, sehingga mereka berani melakukannya.
  9. Memperingatkan seseorang dari kejahatan orang lain. Apabila Anda melihat seseorang yang ingin berkumpul (kerja sama) dengan orang yang mempunyai cacat, maka Anda boleh menyebutkan cacat tersebut kepada orang yang akan diajak kerja sama, jika sekiranya orang yang akan diajak kerja sama tidak dapat tercegah dari kejahatannya tanpa diberi tahu. Jika tidak dengan maksud demikian, maka penyebutan catat tersebut haram.
  10. Menuturkan cacat orang yang menampakkan perbuatan bid'ah.
  11. Menuturkan cacat orang yang menyembunyikan perbuatan bid'ahnya.
  12. Menuturkan kesalahan lawan kepada hakim pada waktu ada dakwaan atau pertanyaan.
  13. Menyebutkan catat orang yang dhalim yang mengadukan kepada jaksa atau penguasa.
  14. Menuturkan cacat orang kafir yang memusuhi kaum muslimin. Orang kafir yang tidak memusuhi kaum muslimin tidak boleh dituturkan cacatnya.
  15. Menuturkan cacat orang yang murtad, dalam arti bukan orang yang meninggalkan salat fardlu.
Imam Ahmad as-Suhaymi menceriterakan kisah Ibnu Arabi dalam kitab "Lubab at-Thalibin". Ibnul Arabi berkata bahwa setiap orang Islam sepatutnya berkeyakinan bahwasanya kesalahan yang dilakukan oleh anak cucu Rasulullah saw tidak boleh dicela karena telah dimaafkan oleh Allah. Hal tersebut didasarkan atas kisah yang dialami Ibnu Arabi tentang keadaan anak cucu Rasulullah saw. Seorang yang tsiqah (tepercaya beritanya) menceriterakan kepada Ibnul Arabi di kota Makkah: "Saya membenci apa yang dilakukan oleh anak cucu Rasulullah saw terhadap orang-orang di kota Makkah." Ketika tidur Ibnul Arabi melihat Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah saw berpaling darinya. Ibnu Arabi memberi salam kepada beliau dan bertanya tentang sebab beliau berpaling. Beliau bersabda: "Sungguh engkau telah mencela orang-orang yang mulia!" Ibnu Arabi bertanya: "Wahai Sayyidattina Fatimah, apakah tuan putri tidak melihat apa yang mereka lakukan terhadap orang-orang?" Beliau bersabda: "Bukankah mereka itu anak cucu saya?" Lalu Ibnul Arabi berkata kepada beliau: "Sejak sekarang aku bertaubat!" Kemudian Sayyidatina Fatimah menghadap kepadanya dan ia terbangun dari tidurnya.